Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan Pesisir, Balutan Kehidupan

18 November 2022   09:41 Diperbarui: 18 November 2022   09:51 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dermaga labuh, ketika menunggu speedboat  datang. Kehangatan dalam balutan obrolan selalu terpancar jelas. Warga desa entah kenapa selalu memenuhi dermaga setiap pagi. Melihat proses keberangkatan. Di sini, kami berbagi cerita dan selalu saja ada doa atas kesuksesan dan harapan agar "menjadi besar tak boleh lupa asal". Kembali ke tanah dodomi ; asal adalah keharusan. 

Ketika kapal mulai terlihat menuju tempat labuh mengangkut penumpang di desa, ada  kesedihan yang membuncah. Rasanya tak ingin tak ingin pergi meninggalkan desa dan kehidupan di dalamnya. Pergi berarti meninggalkan kehangatan dan kenangan. Menuju ke kehidupan dan rutinitas yang membikin gerah. Penguatan diri selalu menjadi gejolak.  

Speedboat datang, tali bandar di ikat ke batang-batang pohon kelapa, dan jangkar di julur ke laut. Abk melompat basah-basahan. Mengangkut satu persatu barang warga. penumpang-penumpang yang naik dengan setengah basah hingga basah total hingga Abk yang memapah penumpang jika mereka sudah berumur.  Pemandangan yang diselingi dengan canda dan tawa. Saya senang menikmati pemandangan ini dari atas speedboat walau kesedihan dalam dada menyerang.

Nampak jelas harapan-harapan pada aktivitas ini. Walau saya tau, mereka yang hidup dengan kondisi seperti ini tak peduli lagi. Sudah sepanjang hidup aktivitas ini mereka jalani dan nikmati. Keresahan hanyalah bagian yang tersimpan rapat dalam dada.

Raungan mesin tempel merupakan kode perpisahan.  Meninggalkan pelabuhan labuh. Meninggalkan desa menuju desa sebelah. Dari atas speedboat nampak jelas warga melambaikan tangan tanda perpisahan hingga tak nampak lagi wujud mereka. Pun dengan pantai, rumah hingga kampung. Zona nyaman harus ditinggalkan. Desa, keluarga dan kenangan.

Bendera Indonesia Tetap Berkibar ketika speedboat meninggalkan Pulau Makian (Dokpri)
Bendera Indonesia Tetap Berkibar ketika speedboat meninggalkan Pulau Makian (Dokpri)

Kesedihan bagian dari emosional manusia. Ia akan cepat berlalu ketika emosional lain hadir. Dan saya mengalami itu. Ketika speedboat mulai memecah ombak, dan kehidupan perjalanan di atas laut dimulai, semua tentang kesedihan berlahan sirna. Pemandangan yang asri terpampang nyata. Tawa riang penumpang dan berbagi cerita sudah menutupi kesedihan.

Setiap kampung yang tersinggahi selalu ada pemandangan dari kehidupan masyarakat pesisir. misalnya ketika seedboat menuju rute akhir pengangkutan penumpang di Pulau Moti.

Di sini saya senang melihat ibu-ibu yang menjajakan aneka makanan. Di pinggir dermaga, jajanan makanan dijejerkan. Posisi mereka harus tepat berada di posisi kapal mengikat tali bandar. Kemudian dagangan pisang goreng, kacang rebus, jangung rebus, nasi kuning, tahu isi hingga air mineral mulai ditawarkan. 

Jajanan ini adalah hasil dari kebun sendiri. Kecuali jajanan semisal tahu isi yang kebanyakan dipelajari cara pembuatannya secara  otodidak.

Mampir di Pelabuhan Pulau Moti
Mampir di Pelabuhan Pulau Moti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun