Di balik ketertinggalan pembangunan, sejatinya kehidupan di pesisir selalu berjalan menarik. Harapan memang tetap menggantung tetapi tidak semerta-merta kekesalan ditimpahkan pada keadaan. Justru, ada begitu banyak warna dalam kanvas kehidupan masyarakat pesisir. Cinta, kehangatan, kenangan dan kerinduan.
Saya tumbuh dengan karakter itu. Setiap kali pulang ke desa selalu ada cerita dan kenangan tertanam dalam ingatan. Pada suasana, lingkungan, budaya dan tradisi.
Sesekali menengok keadaan memang membikin marah. Setan batin dalam diri selalu berteriak pemerataan pembangunan. Â Referensi atas dasar perjalanan ke berbagai kota besar di Indonesia selalu terpakai buat membangun opini.Â
Terlepas dari itu,di sisi lain, saya begitu menyukai keadaan ini apalagi tentang perjalanan pergi dan pulang.Â
Saya menyukai pecahan-pecahan ombak yang terhantam badan kapal. Mesin-mesin yang meraung kencang bahkan rusak di tengah lautan dan badai yang sesekali memompa nyali. Kapten  melepaskan kemudi lalu menagih tiket satu persatu kepada penumpang. Betapa kesopanan terpancar jelas dari wajahnya. Atau penumpang yang senyum-senyum ketika kapten memaklumi mereka kekurangan ongkos.
Pun saya suka, ketika kapten marah-marah karena kesalahan ABK. Dan, paling disukai ialah canda tawa penumpang  dalam balutan kehangatan dalam perjalanan hingga berbagi makanan walau hanya sepotong.
*
Saya menyukai  perjalanan. Laut teduh di pagi hari dengan deburan ombak yang manja disertai matahari yang berlahan mekar di ufuk timur adalah penenang jiwa. Warga desa yang hendak pergi ke kota sudah bangun lebih dulu. Mengikat dus berisi pisang, lemon, sayur-sayuran hingga aneka hasil kebun. Dus itu, kemudian diantar oleh keluarga ke pelabuhan lebih dulu.
Kopi atau teh pagi disertai perbincangan juga tak pernah luput dari kebiasaan sebelum menuju dermaga labuh. Obrolan tentang langkah hidup, karir dan jodoh. Dan, ditutup dengan nasihat-nasihat sebagai nutrisi jiwa. Nasihat tentang agama, hubungan dengan manusia dan hubungan dengan keluarga. Itu dilakukan untuk memastikan, kami anak-anak perantau berjalan pada koridor yang tepat.
Ketika suara mesin speedboat sudah terdengar menuju desa sebelah, di situlah obrolan harus diakhiri. Kami menuju dermaga labuh. Salaman dan pamitan sepanjang jalan dengan warga desa yang ditemui selalu terjadi dengan doa yang selalu mereka panjatkan.Â