November dan hujan seperti tersimpulkan dalam judul lagu milik band legendaris, Guns and Roses, November Rain. Hujan, romantisme, berkah dan usaha. Bagi bumi, tumbuhan hingga manusia.Â
Itulah yang tertangkap dalam jurnal perjalanan baru ini. Hujan dan bulan menjadi tanda dan tanggal dimulainya usaha. Waktu dan kode bagi petani menaruh benih ke dalam tanah. Para pahlawan-pahlawan pangan beraksi.
Rasanya baru kemarin menyaksikan, ladang-ladang sepanjang Jawa hingga Bali yang saya lalui tak bepucuk padi. Sudah terpanen dan meninggalkan bekas. Sawah, ladang terbiarkan dulu.
Panen kedua sudah cukup habis energi. Petani butuh rehat. Atau, setidaknya itu mekanisme alami. Alam dan petani sudah bersepakat soal ini. Saling memahami.
Setidaknya sampai siang tadi, ladang-ladang itu bersih kembali. Saya memperhatikan dari dalam mobil. Dari mulai kilometer 70 hingga 300 an. Di mana ladang, sawah sudah bersih. Tertata, rapi.
Tak tersisa satu rumput pun di sepanjang luasan sawah atau lahan lahan yang tertangkap mata. Mulsa-mulsa terpasang berderet. Dan, perani satu dua tertangkap mata mencangkul dan membajak.
Bagian-bagian lain mulai tertanami bibit hasil semaian. Ada padi, kacang-kacangan, holtikultura dan beberapa pangan lain. Â Musim menanam rupanya sudah dimulai. Periode penting dalam menakar sejauh mana prioritas kebutuhan dan ketersediaan pangan nasional kita.
Saya selalu merasa takjub akan pemandangan-pemandangan seperti ini. Di satu sisi pemandangan ini memberikan harapan bahwa ditengah himpitan dan problem perihal pangan, kita selalu punya jawaban mengatasi itu.
Di sisi lain, upaya kesejateraan tentulah perkara tak ada habisnya. Produktivitas, penerapan teknologi, penysutan lahan, teknik menanam selalu menjadi wacana analis kebijakan. Debat sana sini. Padahal toh mereka hanya butuh kepastian harga. Kepastian sistem.
Ada satu pertanyaan yang selalu menggantung dalam pikir, melihat mereka menanam sedemikian rupa, terlepas dari kajian akademik mengenai produktivitas, penyusutan lahan, biaya operasial dll, apakah  produksi kemarin dan akan datang bisa menjadi dasar cadangan dan ketersediaan pangan Indonesia?
Sungguh yang satu ini membutuhkan data. Sementara momok besarnya juga adalah data dan keterbukaam data mengenai ini. Persoalan ini bagi saya penting lantaran berhubungan erat dengan kebijakan impor ekspor yang kadang bikin petani geram. Jatuhlah harga-harga.Â
Meski jargon utama adalah produk lokal tetapi pada ujungnya Surplus pun di impor.
Data tentu menjadi biang. Terlepas dari narasi kebijakan politik dan kebijakan kepentingan. Toh tidak haram ekspor impor dilakukan. Sudah mekanismenya perdagangan. Yang haram afalah proteksi berlebihan.
Data ketersediaan dan cadangan pangan memang secara umum sering di publikasikan. Namun secara spesifik tentu sangat sulit. Dan menariknya, berbeda kebijakan antara satu pemerintaham dengan pemerintahan daerah lain.
Kondisi itu saya hadapi dari ruang birokrasi satu ke ruang birokrasi satu . Hal paling utama ialah perihal peraturan. Beberapa Pemda punya data demikian lantaran ada peraturan kuat yang dikeluarkan.Â
Sementara yang lain tidak sama sekali. Alias belum melakukan penyusunan. Setidaknya baru ngeh saat pandemi Covid melanda dua tahun ini. Selain itu, pokok utamanya adalah bentuk kerahasiaan karena berhubungan dengan pelaku usaha.
Tentu akan sangat sulit menafsir seberapa butuh persiapan dan cadangan untuk tahun-tahun mendatang. Walau disadari pengumuman lewat media-media selalu getol bernada "aman".Â
Namun bagi saya, ada yang lebih urgen ketimbang kamuflase buat kebijakan impor atau lainnya, yakni taya kelola dan penerapan program terpadu yang koheren. Hasil-hasil kajian akan banyak bila menjadi konsumtif umum ketimbang ekslusif.
 Dari hasil itu bakal lahir skema-skema penguatan ketersediaan dan cadangan pangan serta penguatan yang bisa menyentuh hingga ke Hulu-Hilir. Ada data jelas buat kebijakan A,B ataupun C.
Setidak-tidaknya itulah pemikiran yang terlintas. Di tengah laju kendaraan dan hantaman hujan penghantar berkah bagi petani, rakyat dan bangsa. Apapun itu, segala upaya harus dipertimbangkan agar arah pembangunan ekonomi pertanian tak melulu menjadi perdebatan dalam tiap perdebatan. (Sukur dofu-dofu).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H