Suatu sore di Jember, dalam beberapa hari tinggal di tempat teman, saya memperhatikan betapa air keluar tiada henti dari keran. Di Bak paling sering, mengalir tak terbendung. Kadang cepat, kadang lambat.Â
Rasa penasaran itu tertanam dalam diri sebelum akhirnya memutuskan bertanya kepada kawan. "Bro, saya lihat kok. Airnya jalan terus tidak pernah di tutup kerannya,"Â
"Di sini perjalanan terakhir," jelasnya singkat.
"Terakhir,? Berapa rupiah sih yang harus dikeluarkan perbulan untuk bayar air," tanyaku.
"Duapuluh lima ribu," jawabnya.
Saya kaget. Sebab, sejak melihat fenomena itu sempat berpikir apa tidak rugi kawan ku ini bayar biaya air perbulan. Di rumah saya saja di Ternate, bocor sedikit sudah bayar hingga ratusan ribu rupiah perbulan.
"Kok murah. Itu air PDAM ya," sanggahku.
"Ngak bang. Air ini dikelola langsung oleh desa. Dialiri langsung dari mata air di pegunungan ke rumah warga di kecamatan kami.,"jelasnya.
Barulah saya ketahui air ini bukan berasal dari sistem PDAM. Tetapi swakelola yang hadir dari itikad masyarakat memanfaatkan potensi mata air.
Ia pun menjelaskan mengenai perihal berdirinya sistem tersebut dan sejauh mana proses pengelolaan manajemen. Bisa dibilang, sudah beberapa puluh tahun sistem iu berjalan dengan iuran perbulan yang ditetapkan setiap rumah. Pengelolaan ini berbadan hukum.
Setiap bulan para pegawai melakukan pengecekan rutin. Menelusuri setiap jalur pipa agar memastikan berjalan baik. Iuran oleh warga dipakai untuk operasional.
"Jadi jangan heran kalau air di sini ketika hujan selalu keruh," bebernya kemudian.
"Di perkotaan sama juga?," tanyaku lanjut.
"Mungkin beda bang. Setau saya hanya dibeberapa kecamatan. Punya sumber air masing-masing dari pegunungan," jelasnya.
Saya jadi mengingat sistem yang sama di kampung. Kurang lebih mirip. Berbeda penampungan. Di Jember muara asalnya dari mata air pegunungan yang dialirkan melalui pipa atau atas ke bawahÂ
Di desa saya, air dari sumur atau parigi-parigi disedot memakai alkon bantuan pemerintah ke penampungan di belakang kampung atau di atas. Sebuah bak air besar hasil proyek PU menjadi penampungan. Â Lalu dialirkan ke rumah-rumah warga di bawah. Sistemnya pagi-sore dijalankan oleh satu orang penjaga.
Biaya sewa hanya berupa retribusi sebesar duapuluh ribu. Digunakan untuk operasinal dan perawatan mesin Alkon.
Bagi saya fenomenan ini sangat menarik. Air sebagai sumber penting kehidupan manusia memiliki sisi klimaks. Di satu sisi melimpah dan di sisi lain ktitis.Â
Di jember, di beberapa daerah di pulau Jawa saya masih melihat dan menemukan sumber mata air mengalir dengan begitu baiknya. Tak terbendung ataupun terganggu. Bersih dan tidak keruh.
Sementara di beberapa daerah lain justru terjadj krisis air. Tidak bersih hingga keruh. Di jawa, diperkotaan saya sudah demikian parahnya. Keruh paling utama.
Sementara di luar jawa, mati air atau tidak jalan sering terjadi. Daerah-daerah itu kebanyakan berpenduduk padat hingga memiliki kerusakan alam. Ketidakseimbangan itulah yang pada akhirnya menciptakan krisis air bagi warga.
Di Jember dan sekitarnya, pembangunan tidak semasif seperti Surabaya. Alam sebagai penyangga ekosistem masih tertata dengan baik. Masih banyak lingkungan hutan yang terjaga dan tidak terjamah.
Bagian lain di pulau Jawa juga demikian. Di desa yang jauh dari perkotaan. Alam masih terjaga begitupun dengan air yang tak henti mengalir.
Berbeda dengan daerah dengan dmoperasi pertambangan berada. Pembukaan lahan besar-besaran hingga tidak efisiennya penggunaan air.
Hutan yang gundul kemudian mencemari lingkunhan dan sumber perairan. Kondisi paling nyata ialah keruh kecoklatan yang terlihat dari aliran-aliran sungai. Kondisi akan parah jika terjadi hujan.
Pun di perkotaan semisal Kota Ternate . Permasalahan air sudah terjadi hampir sepuluh tahun belakangan. Sumber air menjadi kering karena hilangnya sumber resapan lantaran masifnya reklamasi dan pembangunan perumahan. Tentu selain itu, tidak bijak menggunakan air juga menjadi kendala utama.
Harapannya tentu saja, sunber air yang melimpah harus mampu dimanfaatkan dengan efisien dan dijaga keberlangsungannya. Sebab, sesuatu yang berasal dari alam bisa habis kapan saja habis.Â
Pembangunan, eksploitasi dan segala praktek kepentingan bakal menjadi tantangan tersendiri akan keseimbangan alam. Perubahan iklim yang sekarang mendera juga bukan perkara sepele Sehingga patut menjadi tanggung jawab bersama dalam melestarikan sumber-sumber mata air yang masih terjaga. (Sukur dofu-dofu).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H