Setiap bulan para pegawai melakukan pengecekan rutin. Menelusuri setiap jalur pipa agar memastikan berjalan baik. Iuran oleh warga dipakai untuk operasional.
"Jadi jangan heran kalau air di sini ketika hujan selalu keruh," bebernya kemudian.
"Di perkotaan sama juga?," tanyaku lanjut.
"Mungkin beda bang. Setau saya hanya dibeberapa kecamatan. Punya sumber air masing-masing dari pegunungan," jelasnya.
Saya jadi mengingat sistem yang sama di kampung. Kurang lebih mirip. Berbeda penampungan. Di Jember muara asalnya dari mata air pegunungan yang dialirkan melalui pipa atau atas ke bawahÂ
Di desa saya, air dari sumur atau parigi-parigi disedot memakai alkon bantuan pemerintah ke penampungan di belakang kampung atau di atas. Sebuah bak air besar hasil proyek PU menjadi penampungan. Â Lalu dialirkan ke rumah-rumah warga di bawah. Sistemnya pagi-sore dijalankan oleh satu orang penjaga.
Biaya sewa hanya berupa retribusi sebesar duapuluh ribu. Digunakan untuk operasinal dan perawatan mesin Alkon.
Bagi saya fenomenan ini sangat menarik. Air sebagai sumber penting kehidupan manusia memiliki sisi klimaks. Di satu sisi melimpah dan di sisi lain ktitis.Â
Di jember, di beberapa daerah di pulau Jawa saya masih melihat dan menemukan sumber mata air mengalir dengan begitu baiknya. Tak terbendung ataupun terganggu. Bersih dan tidak keruh.
Sementara di beberapa daerah lain justru terjadj krisis air. Tidak bersih hingga keruh. Di jawa, diperkotaan saya sudah demikian parahnya. Keruh paling utama.
Sementara di luar jawa, mati air atau tidak jalan sering terjadi. Daerah-daerah itu kebanyakan berpenduduk padat hingga memiliki kerusakan alam. Ketidakseimbangan itulah yang pada akhirnya menciptakan krisis air bagi warga.