Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Balkon Kehidupan

27 Oktober 2022   18:01 Diperbarui: 27 Oktober 2022   18:09 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petani berbaju kuning itu nampak sudah mengayungkan cangkul walau kabut pagi di bumi Dewata masih mengepung. Sepetak tanah itu digarapnya berlahan. Sejengkal demi sejengkal tanah terurai. Sesekali, ia berhenti. Menyeka keringat. Lalu melanjutkan kembali. 

Hingga siang menjelang. Dia masih terus menggarap. Sendirian. Saya tak tau akan ditanami apa ladang itu. Toh saya hanya pandai mengamati. 

Juga pada kasarnya hujan menghantam. Ia tetap mengayunkan cangkulnya. Topi yang tertanam di kepala satu-satunya pelindung.

Bagaimana jika turun dan menyapa? Itu perkara lain. Tak saya temukan jalan menuju arahnya. Terhimpit, terjepit, dan terhalang gedung dan tembok-tembok beton tinggi. Jika pun bisa, apa yang hendak dilakukan selain menggali cerita. Senang pada derita, buat cerita atau berita.

Empat hari, tertangkap aktifitasnya dari balik balkon penginapan daerah Penatih, Bali. Pria penjaga pangan negara itu seakan terlupakan dari nyamannya kasur empuk, ber-AC dalam barisan bangunan kamar hotel.

Jikapun tertengok oleh penghuni-penghuni hotel ini, rasa iba mungkin diletakan paling depan. Atau mungkin tidak sama sekali. Atau,  jadi pelajaran nasihat pada anak-anak sebagai motivasi" Sekolah yang tinggi agar kalian tak perlu jadi petani,". 

Atau, sudah begitu mekanismenya. Ada yang di atas dan di bawah. Hukum kehidupan. Tentu, pada diri setiap orang Prefrensi pada derita berlaku Kemungkinan-kemungkinan; pengalaman dan kedalaman hati. Biasa, setengah biasa dan luar biasa.

Sungguh batin melirih, kenyamanan ini seperti duri. Kasur yang saya tiduri, Ac yang ter-stel dengan televisi yang menyala dibayar dengan beberapa lembar uang sehari semalam. Sementara lembar uang itu bisa saja bermakna beda bagi pria petani itu.

Saya jadi mengingat seorang kenalan. Jika Pria berbaju kuning di atas seorang petani-menumbuhkan tanaman, agar tersedia di dapur masyarakat-maka lainnya halnya dengan Fauji. Seorang pedagang minyak tanah antar pulau.

Berbekal sebuah body moter tempel  dengan dua mesin hasil kreditan 40PK, jerigen-jerigen minyak, dia menyusuri setiap kepulauan. Menjual minyak tanah dengan sedikit keuntungan. 

Minyak itu diperoleh dari hasil beli ke pihak lain. Kemudian dijual kembali ke pulau lain. Pulau yang tak punya akses cepat ke kota. Atau, persinggahan kapal motor besar.

Terik mentari, ombak besar dan ganasnya laut sudah perkara lumrah. Pendapatan harus ada buat anak istri. Hidup dan berdomisili di kepulauan dengan demografi lahan yang tak cocok buat tanaman seperti pala dan cengkih, membuatnya harus memilih opsi pendapatan ketimbang sama dengan warga lain.

Warga lain, pada umunya di Pulau Muari Kecamatan Kayoa yang berpenghuni tak lebih dari 300 KK ini mayoritas nelayan,penyelam teripang dan pengepul ikan dasar. 

Mereka memang punya kebun, tapi itu jauh. Di pulau seberang lagi. Tanaman bulanan yang menunggu musim.

Fauji sudah melakoni profesi itu. Namun tak juga cukup untung. Barulah menjual minyak tanah ia sedikit untung. Walau jarak per-pulau cukup  lumayan. Ditempuh diatas satu jam.

Kulit gosong pun sudah biasa. Itulah sekiranya yang saya rasakan ketika mengikutinya dalam satu sesi perdagangan.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Nombok? Sering. Sistem jual beli dengan bayar cicil tiga puluh persen membikin ruwet. Namun itu opsi yang tak bisa dihindari. Modalnya kecil buat membayar 100-200 liter. 

Bisa saja, hasil akhir penjualan dengan untung lebih dialokasikan untuk modal. Menambah jumlah kapasitas minyak tanah. Tapi biaya sekolah anak dan bahan dapur juga harus dipikirkan. Juga dengan cicilan mesin yang belum tuntas.

Biar begitu, tetap diusahakan. Sebab itu satu-satunya profesi. Nombok atau tidak urusan belakang. Toh itulah profesi yang dicintainya. Ia akan rehat dan kerja ringan, jika anak-anaknya sudah punya masa depan dan penghasilan sendiri.

*

Dua sosok ini telah membikin lirih dan pedih dalam diri.  Kehidupan memang misteri. Ada harga masing-masing. Tergantung bagaimana seseorang bersikap. (Sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun