Minyak itu diperoleh dari hasil beli ke pihak lain. Kemudian dijual kembali ke pulau lain. Pulau yang tak punya akses cepat ke kota. Atau, persinggahan kapal motor besar.
Terik mentari, ombak besar dan ganasnya laut sudah perkara lumrah. Pendapatan harus ada buat anak istri. Hidup dan berdomisili di kepulauan dengan demografi lahan yang tak cocok buat tanaman seperti pala dan cengkih, membuatnya harus memilih opsi pendapatan ketimbang sama dengan warga lain.
Warga lain, pada umunya di Pulau Muari Kecamatan Kayoa yang berpenghuni tak lebih dari 300 KK ini mayoritas nelayan,penyelam teripang dan pengepul ikan dasar.Â
Mereka memang punya kebun, tapi itu jauh. Di pulau seberang lagi. Tanaman bulanan yang menunggu musim.
Fauji sudah melakoni profesi itu. Namun tak juga cukup untung. Barulah menjual minyak tanah ia sedikit untung. Walau jarak per-pulau cukup  lumayan. Ditempuh diatas satu jam.
Kulit gosong pun sudah biasa. Itulah sekiranya yang saya rasakan ketika mengikutinya dalam satu sesi perdagangan.
Nombok? Sering. Sistem jual beli dengan bayar cicil tiga puluh persen membikin ruwet. Namun itu opsi yang tak bisa dihindari. Modalnya kecil buat membayar 100-200 liter.Â
Bisa saja, hasil akhir penjualan dengan untung lebih dialokasikan untuk modal. Menambah jumlah kapasitas minyak tanah. Tapi biaya sekolah anak dan bahan dapur juga harus dipikirkan. Juga dengan cicilan mesin yang belum tuntas.
Biar begitu, tetap diusahakan. Sebab itu satu-satunya profesi. Nombok atau tidak urusan belakang. Toh itulah profesi yang dicintainya. Ia akan rehat dan kerja ringan, jika anak-anaknya sudah punya masa depan dan penghasilan sendiri.
*