"Kepada warga, besok akan diadakan kerja bakti. Pembersihan lingkungan dan Pantai. Untuk itu, diharapkan  tidak dulu ke kebun,"
Pesan pak Kades sehabis Ba'dah Magrib itu menggema dari Toa mesjid. Empat toa kiri kanan cukup membuat seruan itu sampai ke perumahan warga.Â
Besok, pagi hari, haram hukumnya warga ke kebun. Siap siaga, membersihkan lingkungan. Memang tak ada hukum adat buat warga yang sengaja ke kebun. Tapi, gunjingan pasti di terima. Kecuali mereka dengan agenda ke luar kota dan tak bisa ditunda.Â
Kalau sudah begini, kecil, remaja, tua muda, pria wanita melepaskan dulu rutinitas berkebun selama setengah hari.
Kampung sudah harus dibersihkan. Dari selokan, rerumputan yang merambah jalan, kali mati, masjid, kantor desa, dan pantai. Yap, pantai, tempat pembuangan akhir sampah rupa-rupa di desa.
 Dari sampah rumah tangga, sampah kiriman (plastik dll) hingga sampah alam yang terseret banjir karena hujan.
*
Pukul tujuh pagi, ketika mentari sudah mulai perkasa walau embun masih terkantuk di pelukan dedaunan, warga desa utamanya pria sudah berkumpul terlebih dahulu di balai desa. Sementara ibu-ibu dan anak-anak, biasa langsung mengerjakan pembersihan di sekitaran rumah. Depan sampai belakang.
Pria desa, tua muda, sekolah, mahasiswa hingga rumah tangga muda datang dengan membawa alat masing-masing. Paling utama ialah parang, argo dan sekop.Â
Komando akan diberikan kepala desa jika sudah berkumpul lebih dari sepuluh orang. Tentu warga desa sudah tau di mana harus memulai. Namun karena ini adalah perkara penghormatan maka wajib mendengarkan arahan.
"Mulai ujung paling utara kampung sampai ujung selatan. Terus sebagian di Pantai, di kali mati. Potong semua rumput dan sampah tolong di bakar," beginilah seruan andalan kades di desa saya.
Bergeraklah berkelompok-kelompok. Menuju ujung utara. Satu kelompok memangkas rerumputan yang mulai makan jalan, satu kelompok mengangkut dan membakar dan kelompok lain mengumpulkan sampah-sampah di pantai.
Berlahan-lahan menuju ke tengah. Ke kali-kali mati yang berada di tengah desa. Dibersihkan dari sampah rumah tangga yang dibuang warga dan mengendap. Kemudian rumput dan serpihan kayu, ranting, batang pohon yang terbawa arus banjir dari hutan.
Masuk ke tengah desa atau perkampungan, selokan-selokan bakal dibersihkan. Di gali kembali dan diagkat endapan tanah hingga rumput.Â
Di tengah desa, biasanya beberapa pemuda dan anak-anak sekolah akan memiliki tugas berbeda. Yakni menyisir kawasan pantai untuk membakar dan mengumpulkan sampah. Â Dikordinir oleh ketua pemuda.
Semakin waktu menuju siang, semakin ramai aktivitas warga yang ikut bergabung. Apapun dikerjakan. Dari Utara ke selatan sesuai perintah Kades.
Setelah perkampungan selesai, biasanya pantai akan menjadi lokasi pembersihan terakhir. Di kepung ramai-ramai. Titik api bakal mengebulkan asap dari ujung ke ujung.
Proses pembersihan ini bakal selesai hingga pukul sebelas atau dua belas. Warga yang lain akan kembalo ke rumah. Namun yang lainnya bakal menuju ke rumah Kades.
Tujuan mereka tentu saja, menyantap alkadar yang sudah disiapkan kades. Dari makan ringan hingga makan berat. Itu sudah jadi tradisi di desa saya.
Sampah Tak Hanya Milik Warga Kota
Pembersihan ini disebut kerja bakti. Dilakukan lantaran kampung semakin gersang dan kotor. Setiap beberapa bulan sekali, warga desa bakal turut serta membersihkan kampung.Â
Inisiasi bida databng dari pemerintah desa, bisa juga datang dari pemuda, mahasiswa hingga siswa. Beberapa program mahasiswa ketika pulang kampung, selalu berkolaborasi dengan pemuda desa dan siswa sekolah untuk melakukan pembersihan desa.
Pun dengan pemuka agama. Sekalinya sudah mengeluarkan fatsum agar membersihkan desa, maka tak ada kata menunda.Â
Sampah adalah alasan utama pembersihan dilakukan. Apalagi sampah di kali mati dan di pantai. Sampah kering dan sampah basah hasil rumah tangga oleh warga dibuang ke pantai. Kadang juga di buang ke laut. Pada akhirnya air laut menjadi keruh dengan sisa makanan sampah yang bikin malas buat mandi.
Pantai dan kali mati adalah tempat utama warga membuang sampah. Sebuah ironi tentu di daerah pedesaan dan pesisir. Tak ada tempat akhir yang terkelola. Toh sama saja, belum ada jalan penghubung atau mobil.Â
Sampah ini kemudian mengendap dari ujung ke ujung. Dari sampah plastik, ranting-ranting, karung, bekas parutan, bekas semen, dan rupa-rupa yang di produksi warga.
Keadaan akan parah jika musim hujan. Ketika material hasil tebangan di hutan mulai terbawa ke dataran rendah. Ke pantai. Jika sudah begini, auto seluruh pantai dan laut jadi coklat pekat.
Pembukaan lahan perkebunan seiring bertambahnya penduduk desa adalah sebuah keniscayaan kondisi ini terjadi.Â
Sampah kiriman tentu lebih ganas lagi. Ketika gelombang laut sedang berprahara, dalam dua atau tiga hari, maka selesailah sudah sampah itu berakhir di pantai. Sampah kiriman dari kota sekitar rupanya sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah.
Upaya edukasi mahasiswa dan kebijakan menyiapkan tempat sampah oleh pemdes tak pernah berhasil. Tempat sampah yang dialokasikan dari dana desa itu selalu berkahir di pantai dengan kondisi rusak.Â
Awal-awal emmang berhasil, warga membuang sampah ke tempat yang disediakan. Namun upaya selsjutnya ialah, tetap saja dibuang ke pantai.
Tentu bagi saya, banyak faktor menjadi pemicu. Selain dari kondisi geografis pesisir dan kepulauan, kesadaran masyarakat, juga karena pembanguan yang mengakibatkan ketimpangan. Tida merata pembangunan setiap  pulau-pulau di Maluku Utara.Â
Fokus pembangunan masih di kota. Walaupun permasalahan sampah tetap menjadi momok utama yang tak kalah habisnya. Â (Sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H