Di Candi Mendut, saya memasuki sebuah toko. Seorang pria setengah baya menyambutku. Tentu sebagai seorang penjual dan konsumen. Toko dengan menjual berbagai olahan tembakau dari seluruh Indonesia.Â
Tembakau belakangan ku ketahui merupakan salah satu komoditi yang paling banyak juga di tanam dan diusahakan. Banyak produk rokok tak bermerek dengan harga dibawah pasar.Â
Tembakau-tembakau oleh petani dan tidak terserap industri menjadi produk rumahan yang cukup terkenal. Tembakau memang masih menjadi dilema dalam kajian potensi di bidang pertanian. Pro kontra sudah menjadi hal umum bahkan tidak menjadi pilihan bijak dalam penelitian ilmiah.
Ia menyambutku, mempersilahkan saya mencicipi apa saja yang saya mau. Beberapa serutan tembakau saya coba. Kemudian ngobrol sebentar. Satu yang saya ingat, ia tak kesal karena tak membeli. Toh selera konsumen tak bisa dipaksakan.
Dua hari di Magelang, cuaca yang sangat dingin. Saya kurang terbiasa dengan cuaca begini. Terbiasa dengan hawa panas pesisir rupanya menjadi sedikit kendala.Â
Saya jujur, sedikit heran dengan kota destinasi wisata ini. Kehidupan seperti berjalan sangat lambat. Keheranan saya hadir berulang kali ketika pagi, tidak ada aktivitas ekonomi berarti. Pada pukul 9-10 pun masih banyak toko-toko yang belum buka.
Pun malam hari, di atas pukul 8, banyak sudah toko-toko yang tutup. Dan aktivitas merenggang. Namun saya ketahui, ketika bertandang ke pasar tradisional, justru aktivitas di pasar justru dilakukan malam hari. Ramai pada pukul satu dini hari.Â
Dua hari kemudian, kami menuju Kota Solo. Menjajal jalan diantara Gunung Merbabu-Merapu. Saya begitu kagum dengan kehidupan di sini.
Kanan kiri terhampar berbagai banyak komoditi holtikultura, kehidupan ramai penduduknya, aktivitas bertani. Bukit-bukit sejauh mata memandang, terpampang jelas tanaman-tanaman. Tidak ada lahan yang tersisa sejengkal pun digarap. Sungguh penompang pangan luar biasa bagi penduduk di bawah sana.