Di sela persiapan. Tiga temannya datang. Sibuk mengklaim perahu yang hendak digunakan. Sisa perahu yang tertambat diperebutkan. Ini dilakukan agar tidak dapat perahu yang jelek. Mereka tak peduli lagi soal izin-izin. Siapa duluan, dia yang dapat.
Aster hanya cekikan melihat perdebatan itu. Ia  buru-buru menaiki perahu dan mengayuh ke spot pilihannya. Meninggalkan ketiga temannya berdebat.
Malam itu Aster berhasil menarik menarik dua puluh ekor ikan. Ia pulang pukul sepuluh malam. Â Warga di desaku lebih suka memancing malam lantaran siang hari dihabiskan di hutan. Berkebun.
Pencapaiannya malam itu, membuat dirinya menjadi bahan perbincangan. Jarang-jarang warga desa dapat banyak ikan. Karang-karang yang sudah rusak telah mengusir ikan-ikan. Lima atau enam ekor sudah cukup banyak untuk sekali melaut untuk laut makan.
Perbincangan itu membuat warga lain ikut tertarik. Masing-masing mereka ingin melaut. Pencapaian Aster dipandang sebagai "ikan sedang makan, musim ikan karang".Â
Kalau sudah begini, toko penjual alat mancing bakal diserbu hingga habis. Terkadang membuat warga harus ke desa tetangga hanya untuk mendapatkan satu dua buah senar pancing.
Pun dengan perahu. Rebutan perahu sudah auto terjadi. Sebuah kelucuan yang kadang mengundang tawa.
Mereka yang sudah niat memancing dan memeprsiapkan segala hal harus berburu dengan waktu. Lambat sedikt atau telat ke pantai mencari perahu maka sudah auto gigit jari. Sehingga, lebih awal, bahkan matahari belum tenggelam, mereka sudah di atas laut.
Rebutan perahu ini kadang mengundang tawa sekaligus kekesalan. Saya pernah beberapa kali harus mendayung pulang lantaran pemilik perahu memanggil dari jauh untuk pulang karena ia mau memancing.Â
Kesal tentu saja, tapi apa daya itu bukan perahu milik sendiri. Kadang, tuan perahu juga gigit jari. Berharap bisa memancing justru kembali pulang sebelum melaut. Perahu-perahu sudah lebih dulu dibawa orang lain.