Aku bisa membayangkan, betapa korban-korban itu berjatuhan karena tembakan gas air mata. Berdesak-desakan, terinjak-injak hingga tumbang tak bernyawa. Sebuah kepiluan teramat sadis.Â
Semalam aku membayangkan itu, ketika kawanku di kosan memberitahukan informasi adanya kericuan akibat pertandingan sepak bola. Semalam enam puluh lima korban jiwa menjadi headline berita-berita, hingga medsos.
Dan, siang ini melonjak menjadi 129 korban jiwa. Sungguh tidak sedikit. Nyawa ibarat hitungan statistik, tercatat. Terpampang jelas angkanya. Tersebar pula foto-foto dan video korban. Membayangkannya pun gemetaran.
Saya membaca sebuah komentar tidak bernurani membuat darah menjadi naik. "Kenapa banyak korban di pihak Arema, seharusnya pihak Persebaya Surabaya juga dong." sungguh komentar yang menggangap jiwa-jiwa manusia yang hilang hanya hitungan dan angka.
Kehilangan satu keluarga yang di panggil Tuhan saja dukanya tak habis-habis. Sementara korban semalam lebih dari satu. Sungguh sebuah tragedi yang seharusnya tidak terjadi jika semua pihak menahan diri.
Sepak bola, dengan fanatisme lokal yang begitu kental membawa duka mendalam. Sebagai penggemar sepak bola dan terkadang ikut menonton pertandingan di stadion, tak pernah menemukan kondisi separah ini.
Walau harus diakui, setiap kali menonton pertandingan sepak bola, rasa was-was selalu menghantui. Satu yang paling sering dirasakan dan dihadapi ialah kalau-kalau terjadi keributan.Â
Yap, fanatisme lokal punya konsekuensi seperti itu dalam sepak bola. Di mana pun pertandingan terselenggara, konflik dan adu jotos adalah adegan tambahan yang sering terjadi.
Perkara-perkara sepele karena kekalahan, ketidakpuasan, dan ketidakadikan panitia hingga wasit bisa menyulut api. Pun dengan perkara saling ejek antar pendukung.
Kita semua sudah pasti punya gambaran itu. Selama kompetisi sepak bola di Indonesia, dari liga kampung hingga nasional, konflik sudah menjadi tontonan di media. Korban jiwa satu dua berjatuhan.