Pukul empat sore, Ical dan Aster berdebat sengit. Keduanya duduk di atas talud. Dua gelas kopi dengan cemilan buah kenari pelengkap diskusi.
Kedua adik kakak ini sedang membahas perihal naiknya harga BBM dan turunnya harga kopra.
Aster utamanya, ia berapi-api. Menjelaskan kepada kakanya perihal dua kondisi ini. Sebagai seorang ketua perkumpulan mahasiswa desa dan juga kader satu organisasi pergerakan, ia tak mau gengsinya terinjak-injak oleh sang kakak yang sudah purna dari gerakan jalanan.
"Saya demo sebagai bagian dari agent of change. Itu kewajiban. BBM naik itu akan merugikan rakyat. Kakak sudah mati naluri gerakannya," jelas Aster sembari menuduh kakaknya Ical.
"Pemerintah harusnya memikirkan rakyat. BBM naik harga naik, kita yang di desa akan kesusahan. Barang-barang harus beli ke kota. Sementara uang transportasi sudah naik," kesal Aster dengan mimik berapi-api.
Ical yang sedari tadi diam kemudian terpancing juga " emang kau tau tujuan negara menaikan harga BBM,"Â
"Taulah, buat membikin rakyat kecil susah," jawab Aster singkat.
"Ah dasar kamu. Gitu aja tidak tau. Katanya anak gerakan. Kok kajiannya setengah tumpul," tuduh Ical.
Aster semakin terbakar. Perdebatan tiada hentinya. Suara keduanya hampir-hampir mengalahkan desiran ombak. Mirip orang berkelahi. Dua tiga tetangga menengok, berpikir ada adu bakupukul di belakang rumah.
"Kakak biar di kampung tapi tau informasi. BBM naik itu karena ada beban anggaran negara yang membengkak," tuturnya.