Kekaguman pada kereta, Â gedung-gedung, pada hiruk pikuk Jakarta bukan tentang udik atau kampungan, melainkan mimpi pembangunan yang sama. "Kapan" adalah suara dari harapan bahwa mereka atau kami di timur juga menginginkan hal ini melintasi kota-kota, perkampungan, dan hutan-hutan timur.
Membayangkan saja saya bahagia. Ibu-ibu, anak-anak, papa-papa, tua muda pasti sangat menikmati barang satu ini. Tentu dengan barang bawaan yang kuduga pasti memenuhi gerbong kereta. Aturan akan sedikit dilanggar.
 Saya banyangkan stasiun-stasiun penuh. Satu dua tiga anak duduk manis menonton kereta lewat di pinggir sembaru berteriak " kereta-kereta".Â
Percakapan mereka mengingatkan saya pada narasi yang sama. Seingatku, beberapa tahun silam, narasi pembangunan kereta yang menembus hutan-hutan belantara Pulau Halmahera kencang digalakan.
Entah dari mana sumbernya. Warga hanya tau bahwa 10 tahun lagi dibangun kereta yang menghubungkan kabupaten-kabupaten di Pulau Halmahera. Pulau paling besar. Warga-warga yang sering ku temui di desa, bilang begitu. Dan mereka sangat antusias.Â
Ada dari mereka bahkan bilang "kalau ada kereta, kita bisa jual kopra ke Kota". Namun setelah 10 tahun berlalu, tak ada tanda-tanda apapun. Rupanya, ini hasil dari intrik politik. Buat mendapat suara. Entah bagaimana caranya ini bisa menguatkan kepercayaan di level bawah.
Sama halnya dengan wacana pembangunan yang terinspirasi dari Jembatan Suramadu. Politisi lokal suka memakai barang satu ini untuk meraih simpati. Inovasi mereka menghubungkan Pulau Ternate, Maitara dan Tidore (pulaunya bisa dilihat di uang kertas 1000 lama), bisa membikin wacana jadi kajian-kajian. Bahkan kajiannakademis.
Namun tiba habis momentum politik, habis juga ide dan wacananya, hilang. Akan hadir kembali saat mendekati momentum politik.
Harapan yang keluar dari mulut anak-anak Papua yang ku temui di KRL, adalah representasi harapan umum di timur. Pembangunan  adalah teriakan histeris paling menggema. Jalan, pendidikan, kesehatan sebagai pilar utama selalu menggema.Â
Teriakan-teriakan itu, memang tak cukup sampai ke meja penguasa. Namun itulah harapan yang mungkin suatu saat ada yang bisa mendengar. Tentu, bukan mengemis, namun inilah bentuk keadilan sosial. (Sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H