Bahan pupur banyak memakai dedaunan dan kulit pohon. Seperti beras, kulit pohon mangga, bunga manuru atau melatih dan daun kain mangko; penyebutan penduduk lokal.
Beras di cuci bersih lalu rendam agak lama hingga teksturnya membengkak. Kemudian ditiriskan hingga kering lalu ditumbuk halus. Kulit pohon mangga di kupas kulit luar kemudian di jemur bagian dalam hingga kering.Â
Dedaunan lain prosesnya sama. Semua bahan itu di tumbuk dengan sedikit campuran temulawak agar pupur bisa berwarna. Bedanya juga, di Morotai tida berbentuk bulat. Melainkan dicetak mendatar.
Pupur dalam dominasi produk pembersih wajah
Sesuatu yang bersifat tradisional, bernilai tradisi ditakdirkan memiliki musuh alamiah bernama perkembangan jaman. Semakin kedepan, semakin terlupakan. Semakin ditinggalkan.
Pun dengan pupur sebagai bedak tradisional turun temurun. Dulu saya masih bisa menjumpai aktivitas pembuatan produk pupur lima sampai lebih. Sekarang dalam seminggu atau beberapa minggu belum tentu di jumpai.
Keahlian ini juga memudar dari tangan-tangan warga. Hanya orang tua sepu yang masih menguasai. Selebihnya, pada usia yang masih produktif bisa dihitung jari. Jika ingin harus dipesan, atau di minta ke pembuat.
Dominasi produk pembersih wajah yang bisa diperoleh dengan muda di toko rupanya juga ikut andil. Produk-produk mulai dari buat cuci muka hingga buat pemutih wajah sudah dapat dijumpai hingga ke toko kecil di pedesaan.
Konsumen bebas memilih produk mana yang cocok buat karakter wajahnya. Dengan berbagai tawaran dan merek yang tersedia di rak pertokoan.
Kekuatan iklan dari televisi-televisi yang terpasang di rumah rupanya berhasil menarik minat juga. Berbagai produk bisnis itu kini jadi trend di pedesaan. Bahkan saling memberi rekomendasi produk sudah lumrah terjadi.
Tidak ada yang salah dan patut disalahkan. Memang sudah sepatutnya yang  kalah bersaing dan jadul harus tertinggal. Namun satu yang luput dari perhatian, produk lokal wisdom ini seharusnya bisa lebih berkembang lagi.