Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kehidupan Guru Honorer di Pesisir

16 September 2022   16:51 Diperbarui: 17 September 2022   05:00 1173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lusi Ambarani, guru kelas VI MI Nahdlatul Ulama Balikpapan, Kalimantan Timur yang mengajak siswanya mencari luas lingkaran dengan mengaitkan penyelidikan masalah di dalamnya (DOK. TANOTO FOUNDATION)

Sekalipun jadi guru, tak mau menjadi honorer, harus PNS. Apesnya, lulusan perguruan jurusan keguruan tak sembarangan mengikuti seleksi PNS. Harus punya sertifikat kompetensi dan harus punya nama di Dapodik. Diperoleh dengan cara mengajar dulu satu sampai tiga tahun.

Nama akan sangat mudah masuk ke sistem Dapodik jika d sekolah itu punya kenalan, punya keluarga.

Namun semua berubah ketika pulang kampung. Kekurangan guru, pendidikan literasi dan informasi pengetahuan yang rendah mengurungkan niatku. 

Murid-murid tidak kenal literasi, tidak kenal dunia yang mengasikan ini. Hingga suatu saat saya putuskan mengabdikan diri membangun literasi di desa pesisir.

Saya lantas menjadi honorer jalur sekolah. Dan lambat laun mendirikan sebuah rumah baca yang fokus pada pengembangan literasi bagi anak SD dan SMP. Kegiatan yang dilakukan dua kali dalam seminggu ini, fokus mengkaji buku-buku, membaca, menulis cerpen, puisi dll.

Sudah hampir dua tahun saya mengabdikan diri. Gelarku dalam strata sosial menjadi pak guru. Ke mana-mana dipanggil pak guru atau kadang engku (panggilan jadul yang masih populer di timur). Sudah banyak pula suka dan duka yang dihadapi. 

Honorer seperti saya, dan beberapa anak muda di desa yang juga mengabdikan diri di sekolah tak pernah memikirkan perihal kesejahteraan. Mengajar adalah ruang pahala, amal jahiriyah. 

Toh tak akan sampai nalar atas penghasilan yang diterima. Saya sendiri punya penghasilan empat ratus ribu rupiah. Gaji itu, saya terima dalam tiga bulan sekali. Dalam situasi tertentu, kadang lebih dari tiga bulan. Tak ada tunjangan lain, itu satu-satunya penghasilan kami.

Saya sendiri honorer jalur sekolah di mana gaji adalah tanggungan pihak sekolah. Alokasi dari dana BOS. Sementara honorer jalur provinsi, digaji oleh dinas pendidikan, di luar dana BOS. Besarannya tak sama. Lebih tinggi jalur provinsi.

Lalu dari mana kah saya harus memenuhi kebutuhan diri? Ngutang di warung salah satunya. Juga nyambi sebagai petani di kebun milik orang tua. Dapat upah setiap kali membantu memanen pala atau membikin kopra kelapa. Uang dari orang tua juga sering membantu membikin hidup.

Atau, bantu-bantu mengangkut barang dari kapal ke darat. Barang-barang warung hingga bahan-bahan proyek. Sepuluh ribu untuk setiap karung semen yang terpikul ke daratan. Saya juga bekerja berkelompok, membersihkan kebun-kebun warga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun