"Menjadi guru honorer itu murni totalitas pengabdian, ladang pahala. Kesejahteraan memang harus di kesampingkan sebab gonta-ganti kurikulum, menteri, dan kebijakan tak sedikit pun kami di dalamnya."
Deburan ombak terdengar manja di belakang rumah. Suara parau ayam berkokok, burung-burung berkicau, kejar-kejaran dan mentari yang belum perkasa di cakrawala, adalah pagi yang tak pernah saya tinggalkan sehari pun.Â
Tempat favoritku, adalah duduk di atas talud yang membentengi desa dari amukan ganasnya musim ombak, menikmati sepoi angin pagi yang menyejukkan.Â
Saya menyukai pagi ketika semuanya baru dimulai. Kayu yang terbakar di tunggu perapian. Asap-asap dapur yang keluar dari corong rumah, bau seduhan kopi, teh dan aroma pisang goreng.
Di tempat favorit, di bawah rimbunan pohon kelapa, dua tiga perahu tertangkap mata di kejauhan. Menjatuhkan umpan di tubir karang, memancing buat laut makan siang.Â
Dua tiga anak sekolah mandi di pantai, lalu berbilas dengan air tawae dari parigi; sumur dan bersiap ke sekolah. Â
Petani dari kampung sebelah menyusuri pantai menuju perkebunan. Kapal-kapal penumpang juga nampak sudah mulai datang, mengangkut orang-orang yang  hendak bepergian ke kota. Â
Dari talud, saya sering menjumpai papa mengasah parang, setajam mungkin. Bersiap dinas ke kebun. Dan mama yang menyiapkan bekal dan keperluan ayah selama berada di kebun.Â
Ketika fajar mulai mekar di cakrawala, saya juga harus siap-siap bekerja. Di sekolah yang sudah satu tahun setengah kuabdikan diri mencari ladang pahala jalur ilmu. Saya guru honorer di desa di antara anak muda lulusan perguruan tinggi.
*