Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anomali Kampanye Politik di Kampus

4 September 2022   17:02 Diperbarui: 4 September 2022   17:05 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : liputan6.com

Perdebatan tentang bisa tidaknya kampanye politik di kampus  menjadi babak baru demokrasi politik di Indonesia. Pro kontra mengiringi Keputusan KPU membolehkan kampanye politik dilakukan di kampus. Mulai dari menyalahi aturan UU, penggunaan fasilitas publik  serta independensi dan kemurnian akademik.

Tentu ini sangat menarik tergantung dari prespektif mana kita memandang. Politik dalam dunia pendidikan adalah ranah kajian ilmiah. Ribuan bahkan jutaan sudah karya-karya ilmiah lahir.  Sejarah, metode, transformasi, gagasan dan ide-ide menggiringi perjalanan dunia akademis.

Dunia perpolitkan pun demikian. Ranah akademisi menjadi konsren kebijakan politik. Antara membangun, memperbaiki atau berkolaborasi. 

Hubungan keduanya bisa dibilang linear namun dalam komposisi, posisi dan tupoksi,  sangat berbeda. Kampus berposisi sebagai salah satu bagian dari tiga pilar keseimbangan sistem bernegara; Legislatif, Yudikatif, Eksekutif. 

Tiga pilar penting yang independen pada jalur masing-masing namun bisa saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Kekuatan dan pengaruh masing-masing berada pada taraf saling mengawasi dan mengontrol. Setidaknya, itulah yang tertanam dalam pemahaman.

Berkebangnya waktu, syarat-syarat di atas menjadi kabur. Batasan-batasan independensi mulai tidak berlaku. Tidak kentara, namun dalam prakteknya terutama antara politik dan dunia pendidikan mulai melebur.

Kampus mulai kehilangan marwa independensi dalam sikap demokrasi politik. Saran atas kajian-kajian menjadi lemah. Dan kadang tidak digunakan sama sekali hasil-hasil risetnya sebagai tongkat perbaikan. "Kepentingan Politik" terasuki dan belakangan menjadi ranah tak terpisahkan dalam setiap momentum politik.

Politik praktis, telah menjadi bagian tak terpisahkan di dunia akademisi. Di lakukan oleh oknum-oknum dosen secara tertutup maupun terang-terangan. Walaupun pada sikapnya, kampus independen, tapi secara undreground keputusan politik terutama  oleh oknum-oknum di dalamnnya sangat berpengaruh. Powernya besar untuk memenangkan sebuah kompetisi demokrasi.

Lantas apakah bisa melakukan kampanye politik di kampus?

Kampus itu suci, begitulah pemahaman tentang dunia akademisi di ranah mahasiswa. Tertanam dalam kepala. Tak boleh sembarangan orang dan lembaganya masuk ke dalam. Sentimennya sangat kuat, bahkan polisi yang masuk kampus pun kadang menjadi tontonan kegeraman. Di usir sudah sering terjadi.

Ketika masih mahasiswa, politik adalah ranah kajian dan diskusi.  Diskusi teoritis tentang sistem politik adalah makanan sehari-hari. Utamanya mahasiswa yang mengaktifkan diri dalam dunia gerakan. Fungsi kontrol benar-benar dimainkan terutama pada lahirnya keputusan politik di ranah legislatif dan eksekutif.

Walai begitu, keterlibatan dalam politik praktis juga tidak bisa dipisahkan. Mahasiswa memang kadang senang bicara ideologi, tapi juga  senang bermain pada ruang-ruang praktis. Melibatkan diri di luar kampus. 

Ini terlihat pada momentum politik demokrasi di jalankan. Memang sudah hak seseorang berdemokrasi. Tetapi, kadang tindakan over power dengan melakukan kampanye terselubung di kampus membikin geram. Tidak terbuka, tetapi cukup bikin sakit kepala. Walaupun tidak sampai mempengaruhi ideologi "kesucian kampus".

Kondisi ini di perparah dengan "oknum" dosen yang senang bermain-main pada wilayah praktis. Selama saya menjadi mahasiswa bahkan sudah puluhan tahun lulus, telah banyak menemukan praktek-praktek ini.

Momentum politik menjadi ranah garapan mendukung atau mengkampanyekan sosok-sosok tertentu. Tentu, dengan imbalan jabatan di pemerintahan. Bahkan dalam beberapa kesempatan saya menemukan kampus banyak ditinggal dosen-dosen yang menggunakan kemampuannya  di kelas dan bergabung dengan struktur birokrasi pemerintahan hingga menjadi penyelenggara pemilu. 

Terang-terangan menjadi tim sukses pun sudah sering saya jumpai. 

Kekuatan kampus juga cukup berpangaruh di ranah demokrasi politik. Utamanya di daerah-daerah. Kita akan sangat gampang mengidentifikasi  mana kampus berpihak dan ikut campur pada jalannya demokrasi. 

Tetapi itu, dilakukan di luar kampus. Oknum-oknum, pribadi tidak atas nama lembaga perguruan tinggi tempatnya bernanung. Walaupun cukup mempengaruhi posisi dan jalannya ruang akademis secara menyeluruh lantaran ruang ilmiah menjadi terbengkalai.

Kampanye politik di kampus yang digalakan oleh KPU tentu punya niat baik. Yakni kampanye politik yang bersasaran pada pemilih potensial. Anak muda pemilik hak suara yang belakangan tidak melek politik.

Sejatinya, mahasiswa sendiri harus dikategorikan. Dalam fase kajian, mahasiswa punya dua golongan, Hedon dan aktivis. Di kampus, dua golongan ini sangat dominan. Tetapi dunia politik bukanlah hal tabuh bagi kedua golongan ini.

 Kampanye politik dengan tujuan sasaran pemilih potensial bisa dilakukan di kampus tidak semerta-merta harus di jalankan. Sebab berbeda antara pendikan politik dan kampanye politik. Jika sasarannya anak muda pemilih potensial, maka yang dilakukan ialah memperbanyak ruang edukasi pendidikan politik. Bukan kampanye politik yang berbeda tujuan dan kepentingan.

Kampanye politik akan memperburuk ruang ilmiah dan independsi keilmuan. Apalagi jika kampus tersebut dengan oknum dosennya banyak bermain pada ranah praktis.

Selain itu, jalannya kampanye, banyak sekali unsur-unsur sara, tindakan tidak etis, joget-joget, dan janji manis yang dimainkan. Isu-isu dan sentimen politik kandidat untuk meraup suara digunakan. Menjadi legal walaupun aturan ketat ditetapkan oleh KPU dan Bawaslu.

Sudah terlampau banyak kampanye tidak ramah "ilmiah" di mainkan. Bukan gagasan atas visi misi yang dijual melainkan kebobrokan berpikir, berucap dan saling serang di pasarkan. Tidak ada jaminan kampanya politik berjalan sesuai dengan harapan.

Secara pribadi, keputusan KPU tersebut harus di telaah kembali. Agar tidak memperunyam kondisi kampus yang belakangan mulai bermain-main pada ranah politik. Lebih baik, bila pendidikan politik di kedepankan ketimbang mengizinkan setiap kandidat melakukan kampanye di kampus. (Sukur dofu-dofu).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun