Ketika masih mahasiswa, politik adalah ranah kajian dan diskusi. Â Diskusi teoritis tentang sistem politik adalah makanan sehari-hari. Utamanya mahasiswa yang mengaktifkan diri dalam dunia gerakan. Fungsi kontrol benar-benar dimainkan terutama pada lahirnya keputusan politik di ranah legislatif dan eksekutif.
Walai begitu, keterlibatan dalam politik praktis juga tidak bisa dipisahkan. Mahasiswa memang kadang senang bicara ideologi, tapi juga  senang bermain pada ruang-ruang praktis. Melibatkan diri di luar kampus.Â
Ini terlihat pada momentum politik demokrasi di jalankan. Memang sudah hak seseorang berdemokrasi. Tetapi, kadang tindakan over power dengan melakukan kampanye terselubung di kampus membikin geram. Tidak terbuka, tetapi cukup bikin sakit kepala. Walaupun tidak sampai mempengaruhi ideologi "kesucian kampus".
Kondisi ini di perparah dengan "oknum" dosen yang senang bermain-main pada wilayah praktis. Selama saya menjadi mahasiswa bahkan sudah puluhan tahun lulus, telah banyak menemukan praktek-praktek ini.
Momentum politik menjadi ranah garapan mendukung atau mengkampanyekan sosok-sosok tertentu. Tentu, dengan imbalan jabatan di pemerintahan. Bahkan dalam beberapa kesempatan saya menemukan kampus banyak ditinggal dosen-dosen yang menggunakan kemampuannya  di kelas dan bergabung dengan struktur birokrasi pemerintahan hingga menjadi penyelenggara pemilu.Â
Terang-terangan menjadi tim sukses pun sudah sering saya jumpai.Â
Kekuatan kampus juga cukup berpangaruh di ranah demokrasi politik. Utamanya di daerah-daerah. Kita akan sangat gampang mengidentifikasi  mana kampus berpihak dan ikut campur pada jalannya demokrasi.Â
Tetapi itu, dilakukan di luar kampus. Oknum-oknum, pribadi tidak atas nama lembaga perguruan tinggi tempatnya bernanung. Walaupun cukup mempengaruhi posisi dan jalannya ruang akademis secara menyeluruh lantaran ruang ilmiah menjadi terbengkalai.
Kampanye politik di kampus yang digalakan oleh KPU tentu punya niat baik. Yakni kampanye politik yang bersasaran pada pemilih potensial. Anak muda pemilik hak suara yang belakangan tidak melek politik.
Sejatinya, mahasiswa sendiri harus dikategorikan. Dalam fase kajian, mahasiswa punya dua golongan, Hedon dan aktivis. Di kampus, dua golongan ini sangat dominan. Tetapi dunia politik bukanlah hal tabuh bagi kedua golongan ini.
 Kampanye politik dengan tujuan sasaran pemilih potensial bisa dilakukan di kampus tidak semerta-merta harus di jalankan. Sebab berbeda antara pendikan politik dan kampanye politik. Jika sasarannya anak muda pemilih potensial, maka yang dilakukan ialah memperbanyak ruang edukasi pendidikan politik. Bukan kampanye politik yang berbeda tujuan dan kepentingan.