"Begini, sebelum menjawab saya akan memberikan kamu sebuah pertanyaan. Andaikan kamu memiliki perahu sampan yang sudah lapuk, apa yang akan kamu lakukan?. Di belah lalu dijadikan kayu bakar sebagai sumber api di tungku dapur atau biarkan rusak sendiri di laut," Tanya ia yang membuatku sedikit bingung.
" Di jadikan kayu bakar bang" jawabku.
" Tidak salah, semua ada manfaatnya. Namun pemikiran mu sedikit berbeda dengan kami, nelayan. Saya memilih dibiarkan di laut karena itu adalah tempatnya. Pernghormatan patut diberikan. Bayangkan sudah berapa ratus ton ikan dihasilkan, berapa banyak ombak dan angin yang dihadang, berapa banyak rejeki yang diberikan oleh perahu atau kapal yang kita naiki hanya untuk membawa kita selamat sampai daratan dan bertemu keluarga. Â Membikin tungku dapur berasap, seragam sekolah dan fasilitasnya terpakai anak, menyisipkan lembar demi lembar uang untuk istri. Itulah kenapa menghargai, merawat dan menghormati setiap perahu yang kita naiki. Ia memanh tak bernyawa, namun lebih dari itu sebenarnya bernyawa,"jawabnya.
Aku diam. Menangkap filsofi  dalam penjelasannya. Selama ini aku beranggapan bahwa perahu hanyalah rakitan dari bongkahan kayu atau viber glas yang  didesain sedemikian rupa hanya untuk bisa mengapung, dan dipakai nelayan mencari ikan. Nyatanya salah. Lebih dari itu, berharga. Suatu kesatuan yang menjadi penyeimbang antara hidup dan mati.
" Perahu, kapal atau sejenisnya adalah sumber penghidupan. Kita bisa saja menumpang hanya untuk ke seberang. Namun dalam proses menyebrang itu, tanpa sadar ada perlindungan dari ganasnya ombak atau potensi celaka yang menghantui. Ada orang-orang yang berusaha sekuat tenaga menyeimbangkan,membelokan, menjaga posisi agar kapal tidak celaka. Selapuk-lapuknya kapal, ia tak akan tenggelam jika tugas dan masanya belum selesai. Belum dikehendaki ia karam, sejauh itupulah ada kehidupan dan penghidupan," timpal salah satunya.
Ia melanjutkan " Di kepulauan seperti kita ini, kapal tak sekedar transportasi. Tapi pemberi kehidupan bagi pelosok-pelosok. Berapa banyak sudah ia mengangkut bahan pangan dari satu ke satu. Ke dangkalnya karang, ke ganasnya ombak pesisir dan ke dalam semak belukar mangrove. Pun nelayan seperti kami. Bergantung pada kekuatan kapal. Kepercayaan selalu tertanam kuat pada setiap kapal yang kami naiki. ,"
Aku diam. Terus menyimak hingga kapal sandar di sebuah tambak. Namun sepertinya alam dan kapal bersatu memberikan pemahaman mendalam padaku. Rupa-rupanya pelajaran belum selesai.Â
Belum lama kami mengikat talu bandar di bagan. Angin kencang, membawa serta amukan ombak menyapu. Kapten berteriak secepatnya melepas tali. Terlambat, kuatnya angin menyebabkan kapal tertarik. Tali bandar belakang kapal mengoyak dan menghancurkan kayu bagan tempat tali di ikat. Lepas kayu tersebut namun tidak menyebabkan bagan hancur.
Aku lari kedalam kamar kapten. Dibelakang ruang kemudi. Mengemasi barang-barang berpikir hari ini akan berenang. Sejauh itu kepanikan membuat keberanian ciut sekali remas. Kapten mematikan semua lampu penerangan dan hanya menghidupkan lampu suar.Â
Seorang abk kemudian berdiri di anjungan sebagai pengarah tujuan. Kulihat  berdiri dan berpegang pada tiang kapal tempat lampu sorot. Hujan beserta angin rupanya menggangu penglihatan. Ia tak bergerak.Â
Sesekali diangkat tangannya ke kening agar pandangannya tak terganggu. Menebak-nebak di mana tanjung yang dituju untuk berlindung. Sesekali menoleh ia ke belakang memberi isyarata kepada kapten. Dan, kapten sigap, tak membiarkan sedikitpun fokusnya hilang. Membelokan ke kiri dan ke kanan.