Kepala Kepolisian Jepang, Itaru Nakamura, mengundurkan diri lantaran kurangnya pengawasan, pengamanan dan perlindungan terhadap kasus penembakan terhadap Mantan Perdana Menteri Sinzho Abe.Â
Begitulah yang ku tangkap dari pemberitaan. Perkara kecil di Indonesia, besar di Jepang. Setidaknya bagi Itaru Nakamura, mengundurkan diri adalah keharusan dari tanggung jawab. Walau secara rasional, toh bukan salah dia juga. Ia bisa saja membela diri habis-habisan, namun tidak demikian. alan kesatria, jalan samurai, lebih dipilihnya.
Karakter orang Jepang memang begitu. Adab malu nya besar. Gagal sekecil butir pasir merupakan kegagalan besar atas tanggung jawab yang diemban. Sudah budaya mereka hal itu di kedepankan. Â Malu yang beradab, bermoral, bukan malu-maluin berdasar adab.Â
Tak heran jika bangsanya maju. Sungguh belajar pada mereka yang satu ini sangat wajib. Integritas mereka sudah teruji dari jaman ke jaman. Berapa pun pergantian jaman yang di lalui Jepang.Â
Hati dan pikiran sepertinya belum membutuhkan bantuan Tuhan. Keduanya masih melekat dalam raga. Karakter kuat sebagai bangsa Jepang.
Itaru Nakamura bukan satu-satunya kasus mengundurkan diri karena ketidakmampuan dalam menjalankan tugas. Sudah banyak tokoh-tokoh nya melakukan itu sebelumnya.Â
Yoshihide Suga mantan perdana mentri Jepang pengganti Sinzho Abe, hanya setahun menjabat. Memilih mengundurkan diri lantaran di nilai tidak mampu mengatasi covid-19. Yuki Hatamoya, PM Jepang yang undur diri lantaran melanggar janji pemilu.Â
Naoto Kan, yang merasa gagal mengatasi radiasi Listrik di Fukusima, atau Makiko Yamada yang mundur dari jabatan sebagai kepala Hubungan Masyarakat hanya gara-gara pernah di traktir makan dengan biaya sekira sembilan jutaan.Â
Masih banyak lagi pejabat publiknya meletakan  integritas di depan segalanya. Bahkan baru sekedar "tuduhan" terlibat skandal saja mereka memilih mundur. Agar independensi berjalan selama investigasi.
Gila benar karakter dan kepribadian orang-orang Jepang. Melakukan kesalahan, Â mengabaikan, Â tidak berintegritas dalam tanggung jawab sepertinya bukan kebudayaan mereka.Â
Jauh Jepang, jauh Indonesia. Memang secara kebudayaan jauh berbebeda. Walau sama-sama Asia tetapi peradabannya berbeda. Â Malu menjadi momok yang paling mendasari segala keputusan di atas. Hingga kebudayaan "harakiri" kadang menjadi jalan akhir.
Di Indonesia, tidak ada malunya. Dan, sepertinya malu bukan budaya dalam karakter bangsa. Integritas dan kelalaian tanggung jawab adalah hal biasa. Jikapun kena kasus, masih bisa gagah berani bela-belaan di depan media.Â
Klarifikasi, bangun isu dan opini publik seakan menjadi pihak yang terjalimi. Mengaku tak bersalah, melakukan perlawanan, dan segala tindakan yang tak etis. Di mainkan sedemikian rupa agar citra tak rusak di mata publik.
Yap, citra diri di kedepankan. Harkat dan martabat nomor dua. Boleh hilang harta, hilang kekayaan, asal jangan hilang  citra, jabatan dan kekuasaan.Â
Sejarah perjalanan bangsa beberapa dekade ini telah mempertontonkan semua adegan itu. Korupsi gede-gedean, masih bisa selfi ria, klarifikasi dan ujung-ujungnya minta maaf. Seringan itu maaf di lemparkan.
Saya jadi ingat kata Buya Maarif " Kedepan, norma dan nilai akan hilang dalam karakter orang-orang di masa depan,". Rupanya Indonesia sedang memasuki tahap ini. Ketika sebuah perbuatan --korupsi, pembunuhan, pemerkosaan dll-- tidak lagi bermakna dalam tataran tanggung jawab dalam diri seseorang.
Siklus ini terus menerus terjadi. Tak ada perubahan sedikitpun. Pelaku korupsi masih bisa bebas berargumen, atau pelaku lain masih bisa menggungat sebuah keputusan akhir.Â
Contohnya baru-baru ini, ketika seorang jenderal melakukan banding atas putusan majelis.
Memang tak elok rasanya membandingkan Budaya malu orang Jepang atau Korea Selatan dengan Indonesia.Â
Tapi setidaknya kedua bangsa itu telah menunjukan di banyak kesempatan bahwa integritas itu segalanya. Tanggung jawab sebuah tugas merupakan kepercayaan yang tidak bisa disewenangkan. Sehingga jika salah sedikit, malu atas tanggung jawabnya menjadi paling depan.
Setidaknya, kita patut meniru mengenai budaya satu ini. Meletakan kemanusian paling dasar agar tidak terhina atau menghinakan diri dalam membela perbuatan salah.Â
Perbuatan yang dilakukan seseorang karena kesewenangan menggunakan kekuasaan dan tanggung jawab. (SUKUR DOFU-DOFU)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H