Mentari adalah saksi betapa istri-istri nelayan sigap menunggu para suami pulang melaut. Duduk di tepian pantai, di atas talud, hingga di belakang rumah sembari memandang jauh ke arah lautan yang luas.
Sesekali mereka mengangkat tangan ke kening, menutupi cahaya yang menyinari mata agar pandangan mereka jelas ketika ada perahu yang nampak dari kejauhan. Memastikan apakah itu suami mereka atau bukan.Â
Kadang, mereka menunggu sembari mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu halaman belakang, mengiris sayur hingga memasak. Kondisi rumah yang tak jauh dari pantai membuat mereka bisa mengerjakan pekerjaan apapun selain menunggu.
Anak-anak juga kadang ikut menunggu kepulangan ayahnya. Bermain pasir pantai, memancing, mandi-mandi hingga tak jarang berada di dekapan ibu.
Menunggu ayah mereka pulang melaut adalah kebanggaan bagi anak kecil seperti mereka. Ikan-ikan hasil tangkapan bisa menjadi cerita kepada teman sebaya.
Ketika suami dan ayah mereka tiba, atau ketika perahu terlihat maka mereka sigap menyambut. Ibu-ibu akan langsung mengambil baskom, sementara anak-anak berlarian menuju tempat perahu akan berlabuh.
Bagi nelayan, istri adalah pihak pemasar profesional bagi nelayan di desa pesisir. Saya tidak membicarakan perikanan tangkap besar yang sudah tersistem dan melibatkan banyak pihak melainkan membicarakan tentang kehidupan nelayan pesisir yang biasa saya temukan di desa kepulauan.
Ikan hasil tangkap oleh istri kemudian dipilah dan pisah. Sesuai dengan jenis dan ikan apa saja yang terkait oleh suami mereka. Pemilahan dilakukan untuk memastikan kemana ikan tersebut di jual.
Dalam beberapa temuan saya, bermacam-macam alur dan tindakan penjualan yang dilakukan. Semua sesuai kondisi geografis mereka tinggal. Namun dapat saya petahkan beberapa.
Pertama, jika mereka tinggal di garis luar perkotaan, ikan tersebut bisa langsung dijual ke perantara atau pengumpul sesuai size ikan. Dalam beberapa kondisi, istri nelayan juga merupakan pedagang eceran pinggir jalan atau di pasar tradisional.