Kerinduannya itu membawanya melakukan sebuah kebajikan. Ia membangun diskusi-diskusi dengan mahasiswa yang berkuliah di Kota.Â
Jauh sebelum tahun 2017, ia getol membangun diskusi. Walaupun jumlah anak muda yang berkuliah hanya bisa dihitung jari pada saat itu termaksud saya sendiri.
"Saya miris melihat kondisi dari tradisi kita saat ini. Togal sebagai jiwa suku justru hilang entah kemana.," ungkapnya kala saya berdiskusi dengannya.
"Jadi gimana Pak Guru, apakah kita harus membuat satu gerakan kesadaran," tanyaku.
"Saya selalu bersedia dengan kapasitas saya sebagai guru. Tinggal bagaimana mahasiswa dan pemuda berkolaborasi agar sama-sama kita gerakan," ujarnya.
Saya sendiri tak menampik. Periode itu menjadi periode sulit membangun pemahaman dalam pengetahuan. Kontes kepemudaan desa dengan mahasiswa terdapat gap besar. Sehingga kesempatan kolaborasi sangat minim terjadi.
Pak Ujud sendiri tak pernah patah semangat. Kemandekan gerakan dari mahasiswa tak membuatnya menjauhi diri. Ia getol menceburkan diri menerima saran mahasiswa. Bagi saya ia salah satu guru yang sampai sekarang terbuka berdiskusi dengan mahasiswa.Â
Tak pernah sekalipun ia melabelkan mahasiswa sebagai biang masalah yang tak memberikan perubahan di Desa.
Hingga pada 2017, ketika ia sudah aktif menjabat kepala sekolah. Ia mengambil keputusan. Diskusi yang dibangun dengan mahasiswa, tokoh adat, agama dan pemuda menjadi tolak ukur dari mana ia memulai.
Ia mengfokuskan diri membina anak didikannya yang masih berada di bangku SD. Baginya, perubahan harus di mulai dari dasar. Dari anak-anak yang belum terkoptasi oleh dunia luar. Dan ia percaya, perubahan kecil yang dilakukannya akan membawa dampak besar bagi generasi  di atasnya.