Senin pagi, ribuan Pegawai Negeri Sipil hingga swasta yang bekerja di Sofifi Kota Tidore memadati pelabuhan penyebrangan utama. Dari pelabuhan ASDP di Bastiong hingga pelabuhan speed boat di Mangga dua dan Kota Baru,Ternate.
Mereka mengantri, menunggu giliran naik ke speed boat atau kapal feri. Terkadang untuk menghindari antrian, mereka tak jarang datang lebih pagi.Â
Dari sini, mereka menempuh perjalan satu setengah jam dengan ongkos lima puluh ribu rupiah untuk sampai ke Sofifi, Ibu Kota Provinsi Maluku Utara.Â
Sementara pemandangan ini juga terjadi di sore hari, dermaga penuh dengan ASN yang kembali ke Ternate. Menariknya, jadwal pulang kadang lebih awal dari jam kerja. Jika sudah menginjak pukul 13.00 siang, banyak dari mereka sudah kembali ke Ternate. Walau banyak juga yang pulang hingga larut malam.
Ini aktivitas pada hari senin, sementara pada hari-hari seterusnya tetap sama. Namun jumlah ASN yang ngantor menurun. Alias memilih tak ke Sofifi.
Pemandangan ini adalah salah satu fenomena yang terjadi sejak dipindahkannya ibu Kota Provinsi dari Kota Ternate ke Kota Tidore, tepatnya di Sofifi.Â
Sejak 2010 atau 12 tahun lalu, pemindahan ibu kota ini bertujuan pada pelayanan pemerataan serta pendekatan pembangunan dalam pelayanan publik.
Sehingga pembangunan digenjot habis-habisan. Sepanjang desa Baromadehe hingga puncak Gosale, Guraping dibangun banyak insfrastruktur. Perkantoran, akses jalan, perumahan ASN dan infrastruktur pendukung lainnya.
Semua dilakukan agar kerja-kerja dapat terlaksana dengan baik. Tetapi, itu hanyalah bagian dari rencana. Hingga kini, Sofifi tak berkembang. Sama seperti biasanya, sepi.
Aktivitas ASN yang kebanyakan berdomisili di Kota Ternate menambah deretan masalah. Entah sudah berapa kali kebijakan yang mendorong ASN berdomisili di Sofifi agar kinerja birokrasi berjalan lancar tak pernah terwujud.
Tekanan dan sanksi disipilin tak ubahnya angin lalu. Hanya hangat sebentar lalu menghilang seiring waktu.
ASN akan rajin ngantor ketika Gubernur berada di tempat. Atau Sofifi akan ramai jika terdapat event-event bersofat nasional apalagi dihadiri presiden hingga mentri.
Lalu bagaimana dengan pelayanan publik?
Walaupun gedung perkantoran tersedia namun aktivitas birokrasi sering dilakukan di Kota Ternate. Suatu badan atau dinas biasanya mengontrak rumah untuk dijadikan sebagai sekretariat atau kantor selama di Ternate.
Sementara pelayanan publik di Kantor Gubernur atau di Sofifi masih sangat tidak ideal. Lantaran banyak yang tak ngantor.
Beberapa kali saya melakukan pengurusan administrasi dihadapkan dengan ruangan-ruangan kosong. Tak ada penghuni. Apalagi jika pada hari Kamis atau Jum'at.
Jika pada hari senin kita masih bisa dengan mudah melakukan pengurusan tetapi jika sudah hari Kamis atau Jum'at, kita harus pikir-pikir untuk menuju Sofifi. Sebab dipastikan kita hanya akan lelah dan kecewa.
Di lain sisi, adanya Provinsi yang berlokasi di wilayah administrasi Kota Tidore Kepulauan juga menambah deretan masalah. Salah satunya tarikan kepentingan. Keadaanya kurang lebih sama dengan kondisi IKN Nusantara saat ini yang terletak di Kalimantan.
Tarikan kepentingan agar provinsi menjadi memiliki wilayah administrasi sendiri; pemekaran mengemuka. Sementara di satu sisi, Sofifi hingga Kecamatan Oba merupakan wilayah pendongkrak PDB bagi Kota Tidore.Â
Pro dan kontra selalu mengiringi. Dari pejabat publik hingga perangkat Adat Kesultanan Tidore (1)
Rapat Optimalisasi terus dilakukan. Wacananya Sofifi menjadi kota sendiri hingga Daerah Otonomi Baru (DOB).Namun baru-baru ini ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi. Alhasil saat ini, Provinsi Maluku Utara masih Beribukota Imajnier.
Tarikan kepentingan ini sudah terjadi sejak awal pembentukan dan hingga kini, terutama yang pro masih pada tahap rapat optimalisasi, pengajuan hingga lobi-lobi.
Tarikam kepentingan yang menurut hemat saya paling urgens adalah jika Sofifi menjadi  wilayah Administrasi sendiri maka Kota Tidore bakal mengalami ketimpangan pertumbuhan ekonomi.
*
Pindahnya Ibukota Indonesia dari Jakarta  ke Kalimantan tentunya membutuhkan sudah  di pertimbangkan secara  matang oleh pemerintah. IKN Nusantara yang sudah dimuali pembangunannya tentu bakal menelan anggaran yang sangat besar.
Namun pertanyaaannya, apakah segalanya sudah siap? bagaimana dengan konsekuensi jika pemindahan ibukota ini justru menghambat kinerja birokrasi hingga tarikan kepentingan sepeti di Maluku Utara atau beberapa ibu kota lainnya semisal di Batam dan Provinsi Riau?
Kondisi pemenidahan ini persis seperti yang terjadi di Maluku Utara. Walau harus diakui kita tidak bisa menyandingkan birokarasi pemerintahan pusat dan daerah. Namun jika bisa disandingkan maka kasus ini dianggap sama.
Provinsi Maluku Utara, sebelum pindah ke Sofifi beribukota di wilayah administrasi Kota Ternate. Kota paling penting karena di Kota Kecil ini, pergerakan bisnis, uang, transportasi, manusia, barang dan jasa terjadi.Â
Kota Ternate adalah sentra utama ekonomi. Sama halnya dengan Jakarta sebagai pusat bisnis, keuangan dll Indonesia. Begitupula dengan sumber daya utamanya ASN yang kebanyakan bersomdomisili di Kedua kota tersebut.
Tentu, perihal ini harus menjadi fokus utama. Apakah dengan pemindahan Ibukota maka dapat diikuti pula oleh sentra bisnis? ataukah hanya kepentingan politik. Pun dengan sumber daya birokrasi yang harus efisien dan siap aktif di IKN Nusantara. Sehingga pelajaran di daerah tidak terjadi di level pemerintah pusat. Di mana ASN bakal pulang-pergi sehingga birokrasi tak efisien. (sukur dofu-dofu).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H