Persoalan banjir pada kasus pertama ibarat konsep klasik yang terus digunakan. Talud selalu menjadi solusi menangani perkara banjir. Di mana-mana pembangunan talud baik aliran sungai (DAS) atau pantai selalu hadir dalam setiap usulan anggaran. DAK fisik selalu tercantum item pembangunan ini.
Tak ada yang salah, akan tetapi menurut hemat saya, tidak semua persoalan banjir diselesaikan dengan pembangunan talud.
Masih ada yang lebih urgen yakni hilangnya talud alami di hulu karena kepentingan bisnis. Banyak sekali izin operasi diterbitkan guna mengeruk dan melakukan operasi koorporat di hulu.
Tambang, dan perusahaan kayu leluasa melakukan operasi yang kadang tak memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Orientasi profit sepertinya lebih terdepan dari segala-galanya.
Pemerintah mengetahui hal ini, walau proses perizinan sekarang milik pusat. Tetapi praktek operasi berada di depan mata dan tak ada fungsi kontrol yang kuat. Â Alih-alih mengontrol, para pejabat lebih hobi ngopi bersama para koorporat dan tampil di halaman depan media cetak.
Sementara pada kasus kedua, kegeraman masyarakat tidak adanya alternatif kebijakan yang menggantikan proses pembangunan. Pada akhirnya warga terkena dampak hanya karena "ego" pembangunan.
"Ego pembangunan" mengabaikan fakta-fakta sosial masyarakat sekitar. Hal ini sudah menjadi catatan umum di mana setiap reklamasi selalu merugikan masyarakat setempat. Mulai dari perkara ganti rugi, akses masuk, tambatan yang hilang, dll.
Kedua kasus ini, mengingatkan saya ketika melakukan diskusi dengan salah satu dosen. Bahwa sebaik apapun perencanaan jika pemerintahnya tak baik maka tidak berarti apa-apa.
Pemerintah sebagai eksekutor adalah pembuat kebijakan sebaik-baiknya kebijakan. Akan tetapi jika kebijakan perbaikan dari hulu yang di rancang bertentangan dengan kepentingan konglomerat yang berafiliasi dengan pemerintahan maka jadilah sia-sia.
Inilah ribetnya, ketika ada afiliasi kuat antara pemerintah dengan konglomerat. Sebagus apapun kebijakan selalu merugikan kalangan tak berkepentingan.
Jika ditarik benang merah antara kedua kasus, sama-sama merugikan masyarakat lantaran kebijakan pembangunan yang dikeluarkan justru berdampak negatif.