Hampir sebulan ini, mata saya terperangah melihat begitu banyak sampah plastik yang mengotori lautan. Baik di pinggiran hingga ke tengah laut yang kadang menjadi kendala bagi pelaku usaha speedboat dan jenis pelayaran lain.
Sampah ini merupakan sampah kiriman yang terbawa arus laut dan hasil dari perilaku membuang sampah sembarangan oleh warga kota.Â
Upaya edukasi untuk tidak membuang sampah ke laut rupanya masih minim pengaruhnya. Perilaku membuang sampah ke selokan, sungai mati (kali mati), dan laut masih terus dilakukan disamping kontribusi sarana dan manajemen sampah di kota yang belum memadai.
Program pembersihan sampah plastik di pinggir pantai dan tengah laut menggunakan perahu motor yang dilakukan oleh beberapa komunitas walaupun memberikan angin segar atas kepedulian anak muda terhadap permasalahan sampah plastik akan tetapi tidak berimbang efeknya secara agregat.
Sampah plastik masih memenuhi lautan. Sebuah konklusi dari pernyataan PBB bahwa Indonesia adalah salah satu penyumbang sampah plastik besar dari 400 juta ton sampah plastik di dunia dengan 150 juta berada dilautan. Tak main-main, Indonesia berada di urutan kedua dunia (World Economic Forum, 2020).
Kehadiran sampah plastik tentu memberikan efek fatal pada pada perairan laut tak terkecuali Indonesia. Sudah banyak kasus ditemukan di mana banyak habitat rusak. Bahkan, tak jarang kita disuguhi laporan bagaimana spesies semisal paus mati karena sampah.
Spesies maupun habitat tersebut akan terus menghadapi situasi tersebut jika tak ada kesadaran dari diri sendiri dan dukungan berbagai program yang harus disenergikan. Pemerintah juga harus berupaya menekan penggunaan bahan plastik sebagai wadah produk dan diganti dengan bahan ramah lingkungan.
Di samping itu, perilaku manusia juga harus terus diedukasi lewat berbagai intervensi ketat agar hal semacam ini dapat diminimalisir demi kemaslahatan lingkungan di masa depan.
*