"Lebih-lebih, kemerdekaan adalah kebebasan. Harkat dan martabat bangsa dan orang-orang di dalam bangsa yang bebas hidup dari penjajahan. Bebas hidup, tinggal, makan dan bekerja," cetusnya.
Duduk kami menyimak lelaki berkulit sawo matang, berambut ikal, dan bermata kecoklatan ini. Pria bangsat oleh anak desa disebut sebagai pemburu pengetahuan dari sejak lahir.Â
Bagi mahasiswa ia guru yang bijak. Mampu menalangi kekisruan pikir yang mereka ciptakan. Bagi masyarakat, ia belumlah apa-apa, lantaran tak punya jabatan atau status sosial yang jelas, walau pendidikannya melewati semua capaian anak desa.
"Namun kemerdekaan sesungguhnya masih meninggalkan pekerjaan rumah. Bukan secara de facto atau de jure, melainkan bagaimana makna kemerdekaan itu dijalani sebagai sebuah negara. Masih banyak perkara tabuh dan sering menjurus pada narasi kita belum merdeka akibat ketabuhan itu,"Â
Benggong kami atas penjelasannya. Siswa-siswa SMA yang sedari tadi hadir tak mampu bersuara. Diam seribu kata. Penafsiran ini, mungkin masih jauh buat mereka.
"Lantas apa sajakah itu, bagikan pada kami. Kepada anak desa seperti kami yang buta pandangan luar," desakku.
"Baiklah, aku ceritakan,".
Ia pun bercerita........Â
Udara, laut, dan darat adalah bonus kemerdekaan atas usaha gigih para pejuang. Jika saja kita belum merdeka, mungkin aku, kamu, dan kita hanyalah babu di desa yang bekerja memanen cengkeh untuk kompeni; VOC. Kalau-kalau aku bersikeras, penjara atau mati adalah pilihan yang keduanya tak mengenakan.
Bersukurlah kita, generasi belakangan. Penikmat hasil kemerdekaan. Kita bisa melakukan apa saja. Sekolah misalnya, bisa kita nikmati tanpa harus melukai status sosial atau melapor ke keresidenan atau gubernur wilayah. Itupun kalau-kalau aku, kita, adalah anak orang berpengaruh.
Dan, aku telah melewati berbagai perjalanan dalam berkah umurku. Berkah dari Tuhan dan kemerdekaan yang diraih dengan darah pejuang. Bebas dari penjajahan kolonial dan ku bebaskan kaki melangkah ke mana maunya pikir dan hati.