Berkibarlah bendera ku, sang Saka Merah Putih. Menjulang tinggi, setinggi tiang sederhana dari bambu bercat putih. Lagu kebangsaan dinyanyikan dengan bangga dan berapi-api lewat bibir-bibir orang desa.
Di lapangan sederhana ini- tak rata, setengah berumput, dikelilingi pepohonan kelapa, dan penjagaan ketat lautan yang mengapit--menjadi saksi kehikmatan, kejayaan, dan harapan atas kemerdekaan.Â
Penghormatan, penghayatan dan pendalam dalam beberapa menit ini membangkitkan nasionalisme yang tertanam teguh dalam jiwa. Sekenyang atau selapar-laparnya jiwa itu, nasionalisme tak kenyang tak jua lapar. Ia kekal abadi, mengakar.
"Rasa-rasanya, dalam setiap peringatan hari Kemerdekaan, bulu kuduk selalu bangkit beriringan dengan nyanyian lagu Indonesia Raya yang menggema seiring Sang Saka Merah Putih dikibarkan. Waktu seperti terhenti dan tunduk hormat atas pejuangan-perjuangan,"celetuh Wandi, anak desa lulusan perguruan tinggi.
Deburan ombak manja pada tubir pasir, disertai angin yang berlahan berhembus kami nikmati sehabis upacara tadi. Duduk kami di atas talud memandangi luasnya lautan dan cakrawala yang menggantung.Â
Dalam hidup kami, laut, pesisir, dan peradabannya bukanlah perkara asing. Senggama cakrawala telah kunikmati beribu kali-lipat. Langit-langit yang menggantungkan aksara berjibun sudah dalam penglihatan.Â
Ombak, buih, dan karang telah menjadi kesatuan, setia mengawal pengetahuan. Pasir dan deburan ombak abadi saling merayu. Tak ubahnya dua insan kekasih yang di mabuk asmara.
Diantara kami, hadir pula anak-anak sekolah. Masih berpakaian lengkap, kerah mereka diangkat keatas seperti gaya Elvis Presley, topi dibalikan dan baju tak dimasukan. Gaya anak keren anak sekolah di desa.
"Tentang Kemerdekaan, apa pandanganmu?" balasanku padanya.