Plok...Â
Bunyi penutup botol minuman keras yang harganya selangit merapatkan barisan para lelaki yang sedari tadi membahas dunia persilatan. Proyek dan lobi-lobi. Persenan ini dan persenan itu. Sang Bos dari Jakarta sana ingin minum.Â
Di pesannya minuman paling mahal dengan seteko es batu. Katanya nikmat jika disajikan dingin. Dan ogah minum miras ala daerah alias cap tikus yang menyiksa kerongkongan.
Wajah-wajah kelelahan para anak buah nampak ceria. Senyum mengembang. Bak ketiban rejeki nomplok. Duduk mereka merapat. Menuangkan miras kedalam gelas yang mengkilap. Sembari menikmati lantunan lagu-lagu lawas yang dinyanyikan penyanyi di depan.Â
Restoran hotel ini bukan Pub atau club malam. Â Murni restoran buat makan siang dan malam bagi tamu hotel dan punya minibar yang menyajikan minuman sejenis kopi dan jus. Â
Namun berubah di hari Sabtu. Malam minggu. Spesial bagi tamu, dapat merequest minuman keras kelas kantong menengah keatas.Â
Pantas saja sedari tadi ramai. Tak seperti hari biasanya yang hanya diisi dengan aktivitas makan tamu hotel.
Malam ini nampak berbeda. Banyak wanita-wanita muda bahenol yang nongkrong. Juga om-om yang datang khusus ke sini. Apalagi sejak pandemi, club dilantai satu harus di tutup. Banyak tamu baik muda hingga tua -pasangan di meja resepsionois.
Gelas-gelas diadu. Miras diteguk. Manusia-manusia kerasukan. Bercerita, curhat, joget-joget hingga menari-nari. Hilang akal sehat sesaat. Â Mata merah dan wajah kusam nampak jelas. Botol demi botol mendarat di meja. Tegukan demi tegukan mengalir hingga tak tersisa.Â
Setelah "party" itu. Hasrat-hasrat memuncak. Birahi menggelora. Yang tumbang sudah lebih dulu tertidur pulas. Atau pulang sebelum benar-benar mabuk.
Menjelang malam suasana resto mulai nampak sepi. Lagu-lagu sudah berhenti. Wanita-wanita yang nongkrong tadi satu persatu pergi. Memasuki kamar. Transaksi sepertinya berhasil.Â
Para lelaki di meja ini tak mau kalah. Terurama si bos. Ditelponlah jaringan lokal penyedia jasa birahi. Tentu sebagai bonus atas kerjasama proyek yang berhasil. Paket komplit dari jasa pelayanan selama mereka  di sini dan belum kembali ke Jakarta.
Datanglah satu wanita muda nampak malu-malu dan duduk agak menjauh. Namanya Putri. Walau aku tau itu nama samran. Â Umurnya antara 15-17 tahun.Â
Satu lelaki berdiri. Kupanggil Ia sang "Dosen". Lantaran Ia benar-benar dosen di salah satu Universitas.
Tugasnya menerima tamu dari luar kota. Siapa saja dan apa saja. Ia melayani mereka sesuai keinginan sang klien. Keuntunganya ialah persenan dari setiap proyek. Sang oknum dosen ini belakangan ku ketahui nyambi sebagai "germo".
Setelah bincang-bincang, wanita itu berdiri dan berkenalan dengan bos. Aih sungguh sangat kecil anak ini, bauh kencur. Polos wajahnya. Gemes. Handponenya elit. Gayanya metropolis.Â
Logika seakan runtuh. Anak sekecil ini nyambi sebagai penawar jasa hasrat. Benturan semakin kencang ketika kulihat wajah sang "germo". Aih sungguh tabiat apa yang ku temui hari ini.Â
Harga disepakati. Jadilah sang bos menyeretnya ke peraduan hasrat. Ku lihat dari kejauhan sambil menimbun banyak pertanyaan. Sebelum memutuskan pulang menjelang fajar.
*
Malam minggu tak ubannya surga. Di sini, di Kota kecil ini, miras dan seks begitu berkelas. Dari gang-gang, depan jalan setiap kelurahan, pub hingga karaoke.Â
Di gang-gang, malam minggu adalah pesta. Miras berkelompok. Dua sampai lebih kelompok. Di pub, lantunan lagu dan aduan gelas lebih menjadi-jadi.
Walau banyak razia miras yang digalakan pihak berwenang tapi tak pernah menyurutkan sedikitpun perderan miras. Orang timur dan miras bak minum air.Â
Penjual-penjual miras mendulang rupiah yang melimpah di malam minggu. Walau dijual sembunyi-sembunyi. Sementara jasa-jasa hasrat lebih laris lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H