Masyarakat tentu saja harus didorong dengan kuat lewat berbagai kebijakan dan inovasi. Sebab selama ini, kenari hanya menjadi sumber pendapatan yang tidak menjadi prioritas. Sudah begitu dijual masih dalam bentuk kering.
Padahal keuntungan ekonomi buah kenari sangat besar dan banyak menjadi bahan utama dalam setiap produk. Misalnya digunakan untuk rempah-rempah, cemilan, toping air guraka, kopi, bahan kua papeda, hingga kue dll.Â
Keunikan lain, banyak konsumen yang juga menyukai kenari mentah sebagai cemilan.
Proses awal hingga akhir sampai menjual kenari ke pedagang pun terbilang cukup panjang. Di mana biaya sosial begitu banyak dihabiskan.
Di mulai dari pemanjatan, pengumpulan, pembukaan kulit luar (tidu), dikeringkan, kemudian ditidu lagi kulit dalam, pemilahan hingga penjualan.
Buah kenari yang sudah hitam menyeluruh menandakan kenari harus secepatnya dipetik atau dipanen. Walau setiap kenari tidak memiliki rasio panen yang sama antara satu pohon dengan yang lain.
Informasi itu bisa diperoleh langsung ke kebun atau dari informasi warga yang memungut di kebun.Â
Untuk memanen buah kenari, alatnya cukup sederhana. Di kampung saya pulau Makian Luar, disebut poga-poga. Sebuah alat yang terbuat dari bambu kering berukuran 5-10 meter.Â
Ujung bambu kemudian disayat berbentuk V. Untuk mencegah agar poga-poga tidak retak, dipangkal V tersebut dililit senar atau tali.
Pohon kenari memiliki cabang yang besar dan dengan buah yang berada di unjung ranting.Â
Alhasil, petani harus memanjat ke setiap cabang dan pelan-pelan mengait. Setelah selesai dilanjutkan ke cabang-cabang lainnya.