Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rezeki dari Gerobak

8 Agustus 2021   10:19 Diperbarui: 8 Agustus 2021   11:41 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah Satu Pedagang Pentolan di Pantai Falajawa (Dokpri)

Jalanan adalah rumah bagi mereka. Di sini kehidupan dibangun dengan asa. Rezeki di raih lewat keringat dan tapak kaki yang mengelupas dan kulit yang bersahabat dengan sengatan matahari.

Mentari sudah mulai menghangatkan bumi. Dua tiga hingga lebih masyarakat berdatangan. Di lokasi ini, di Pantai Falajawa, hadirnya mentari begitu diburu. Lantaran air laut sedikit hangat dan tak dingin layaknya sore hari. Mereka datang untuk Batobo atau berenang. 

Aktivitas di lokasi yang terletak di kelurahan Fajalawa Kota Ternate ini selalu ramai dipadati masyarakat. Selain sebagai lokasi favorit karena berada dalam kota yang gampang di akses ketimbang ke pantai lain, lokasi ini menjadi favorit karena tetumbuh karangnya yang terjaga.

Ramainya aktivitas warga yang Batobo dimanfaatkan oleh berbagai pedagang untuk menjajakan dagangnya. Salah satunya Kang Asep yang berasal dari Jawa Barat dan berjualan pentolan, tahu isi pentolan, telur gulung dan es.

Pagi itu, sekira pukul sepuluh, Kang Asep sudah memarkir gerobaknya dipinggir jalan. Hanya berjarak 5 meter dari bibir pantai. 

Ia masih nampak asing. Sebab selama saya Batobo di sini, baru kali ini melihat wajahnya dibanding pedagang lainnya.  Pria muda ini orang baru. 

Setelah batobo sekira setengah jam, saya putuskan mengahampiri Kang Asep yang saat itu masih sibuk melayani satu dua pelanggan. 

Sejam lamanya saya menunggu, mataharipun sudah mulai panas. Walau itu merupakan keuntungan karena dapat asupan vitamin gratis di masa pandemi ini.

Kang Asep lalu menghampiri, toh saya duduk tak jauh hanya berjarak beberapa kaki. Kami mengobrol di bawah sebuah pohon palem yang menjadi ciri khas pantai ini.

"Baru di sini bang,"tanyaku.

"Di Ternate baru tiga bulan sementara jualan di sini baru sebulan," jawabnya.

"Pantasan baru lihat bang. Sore jualan di mana bang," Tanyaku lagi.

"Kalau sore saya stay di pasar Gamalama," Ujarnya.

Pantas saja saya jarang melihatnya di sini. Padahal di sore hari banyak pedagang sejenis sekira lima orang di sini dan selalu diserbu warga.

"Kenapa tidak jualan sore di sini bang? sore hari sangat ramai. " Saya kan baru bang, jadi takut ambil tempat pedagang lain. Saya jualan keliling. Dan sore stay di pasar karena sudah ada pelanggan setia. Dan kalau pagi baru di sini karena menggantikan tempat kakak saya " jelasnya panjang. 

"Oh gitu. Terus pendapatan sehari berapa bang," Tanyaku penasaran.

Ia pun menjelaskan bahwa saat ramai pendapatan yang diraup sekira 600 ribu rupiah dan saat dagangan sepi sekira 200-300 ribu rupiah. Secara hitungan dagangan yang dibawanya tergantung lokasi dagangan. 

Jika di lokasi pantai ini, dagangan yang laku ialah pentolan sementara di Pasar Gamalama lebih laku tahu berisi pentolan.

Setiap hari ia membawa 300 atau 400 tahu, 400 pentolan dan 100 telur gulung. Semua dagangan dijual seharga RO. 10.000.

Penjelasannya itu seketika membuat saya berkesimpulan sepihak, dan menggangap penghasilan tersebut bersih. 

"Terus input produksi berapa," Tanyaku.

"Jadi gini bang. Saya jualan punya orang bang. Jadi soal itu saya tidak tau. Kami hanya berjualan dengan hitungan perbiji yang laku 650 rupiah untuk pemilik dan 350 untuk kami. Jadi sehari kami meraup sekira 135 ribu" ujarnya.

Iapun menjelaskan bahwa selain dirinya, ada sekira 15 orang yang bekerja di bawah satu pemilik. Keuntungannya ialah makan dalam (Diberi makan tanpa mengeluarkan biaya) dan naungan atau tempat tidur.

Setiap hari mereka berkeliling dari pagi hingga malam. Target agar dagangan ledus selalu diterapkan sebab dengan begitu keuntungan mereka akan tinggi. Walau mempunyai tempat langganan, akan tetapi berkeliling lebih banyak dilakukan. 

Kamipun mengobrol lebih dalam tentang dari mana asalnya hingga keluh kesah saat berjualan. Salah satu keluhannya ialah adanya oknum pedagang  nakal yang menetapkan retribusi sebesar 10.000 rupiah perminggu. Pedagang ini adalah pedagang yang sama-sama berdagang pentolan. Yang membedakan hanya lamanya Pedagang di lokasi tersebut.

Iapun memberikan retribusi tersebut walau dirasa ganjal karena Ia orang baru. Mendengar itu sata sendiri geram dan menjelaskan bahwa di lokasi ini tak ada retribusi dan hal dalam menangih retribusi di Kota Ternate hanya Dishub dan dinas Pasar. Itupun hanya 2.000 Rupiah.

Penjelasn demi penjelasan saya berikan. Bahwa tak ada ceritanya retribusi ditagi pedagang. Sebab di kota ini tak ada wilayah kekuasaan layaknya di Jakarta sana. Tak ada jatah preman dll.

Sayapun menegaskan agar jangan diberikan sebab itu pemalakan dan tidak dibenarkan. Kami mengobrol lama sebelum Ia pamit berkeliling karena lokasi sudah sepi. 

Ceritanya membawa saya mengingat beberapa pertemuan dan obrolan yang terbangun dengan para pedagang yang mengais rejeki dari gerobak  Salah satunya Mbak Ati (50 Tahun). Langganan saya yang berjualan Bubur Kacang Hijau.

Bu Ati saya memanggilnya, berjualan kacang hijau masih di lokasi yang sama yakni di Pantai Falajawa. Bedanya Ia menjajakan daganganya agak jauh dari lokasi. Lebih ke Selatan sekira 100 Meter.

Bu Ati sendiri berasal dari Tegal, dan sudah di Terante selama 10 Tahun. Ia awalnya berdagang di Lokasi lain, namun karena kakaknya yang pulang ke Jawa dan terhalang pandemi untuk kembali maka lokasi kakaknya kemudian ia pakai.

Harga perporsi dibandrol senilai RP. 6.000. Jika ditambah ketan Rp. 7.000. Ia berjualan hanya pada pagi dan malam hari. 

Sebelum pukul 8 pagi, Ibu Ati sudah menjajakan dagangnya dan menunggu pelanggan. Mayoritas pelanggan akan datang atau sekedar lewat dijalan tersebut. Pun dengan malam hari yang dimulai pukul 18 hingga 22 Wit, polanya sama menunggu pelanggan mampir.

Secara penghasilan, bisa dibilang tak untung tak rugi. Dalam sehari Ia bisa menjual 50 porsi. Bahkan kurang dari itu karena ada beberapa pedagang yang sama. Penghasilan tersebut digunakan untuk biaya hidup dengan membayar kontrakan, sekolah anak hingga biaya input produksi. 

Sementara untuk pulang pergi dari rumah ke lokasi begitu sebaliknya, Ia mengandalkan anaknya yang berprofesi sebagai tukang ojek. Anaknya akan datang dan menarik gerobak menggunakan sepeda motor.

Bagi Bu Ati, berapapun penghasilannya yang penting diperoleh secara  halal. Apalagi mereka sebagai perantau, manajemen keuangan sangatlah penting.

Salah satu pedagang sayur Keliling (Dokpri)
Salah satu pedagang sayur Keliling (Dokpri)

Pun dengan Mas Madi. Pria berumur 40 Tahunan yang  keliling menggunakan Sepeda Motor. Mas Madi senditi berasal dari Nganjuk, Jawa Gimur. 

Setiap pagi berkeliling hingga siang hari. Menelusuri gang-gang sembari membunyikan tetompet khas para pedagang. Banyak barang dibawa, Sayur, ikan, bawang, tomat, cabai, dll.

Kehadiran mereka sangat membantu para ibu yang malas ke pasar. Secara efisiensi hal ini menguntungkan ketimbang mengeluarkan ongkos pulang pergi pasar yang menyentuh angka Rp. 15.000-20.000 rupiah.

Mas Madi sendiri sudah berdagang dua tahun. Berkeliling dari kompleks satu ke yang satu hingga jam 12 siang. Sementara waktu setelah itu ia berprofesi sebagi tukang ojek di pasar Gamalama.

Walau begitu, dagangan yang dijualnya juga bukan miliknya. Mereka bernaung dibawah satu payung. Hasil dagangan dibagi perjualan antara 300-500 rupiah. Misalnya sayur kangkung, mereka meraup rupiah perikat 300 rupiah sementara Ikan lebih besar yakni 500 rupiah.

Pendapatan mereka tak menentu tergantung dari hasil dagangan yang mereka bawa. Jika laris maka pendapatan akan sedikit lebih besar. Pun sebaliknya.

Kecil memang, namun sudah sangat membantu bagi pendatang seperti mereka yang mencari rejeki. Semua pedagang di atas adalah potret kegigihan dan usaha yang luar biasa demi meneruskan kehidupan.

Kegigihan mereka tanpa mengenal lelah berkeliling dari satu lokasi ke lokasi lain membawa saya pada kesimpulan bahwa hidup harus dijalankan dengan ikhlas disertai kerja keras dan tak perlu menyalahkan keadaan.  (Sukur dofu-dofu).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun