Obrolan kami begitu panjang. Banyak ide, solusi kami bicarakan. Kadang sepakat kadang butuh kejelasan mendalam. Terhitung dua jam lamanya.
Udara yang masih terus mengigit membuat saya menyerah. Jaket jins yang saya kenakan tak menjadi benteng kedinginan. Kami berdua memutuskan bergeser tempat duduk. Sedikit kedalam, ke lorong kosan.Â
Di sinilah dalam keheningan, setelah saya tanpa sengaja menyinggung kalimat "menjadi manusia harus gila. Gila mengambil keputusan baik karir maupun jodoh".
Seketika ia menyahut, "Bang sudah khatam saya menjadi orang gila. Saatnya saya menjadi normal."
Saya binggung namun penasaran. Penafsiranku mengenai "gila" sebenarnya memiliki akar positif. Gila dalam pandangan saya ialah berani mengambil risiko sesuai dengan visi yang hendak dicapai. Sedikit menjadi gila tak apa-apa.
Namun, bahasa yang ia keluarkan membuat saya penasaran. "Emang gila yang kamu maksud apa bunga," tanyaku.
Ia tak lantas menjawab. Ia diam seakan ingin mengambil keputusan antara menceritakan atau tidak. Sebuah dilema nampak diwajahnya, antara mempercayai saya atau tidak. Posisi duduknya tiba-tiba ia benarkan. Awalnya berhadapan kini bergeser sejajar dengan saya.
Diam, hening. Tak ada suara dalam lorong ini. Pandanganya kosong. Tanganya ia lipat sesekali ia remas kuat-kuat. Hingga ia berujar, "Saya tak sanggup bang mengingat masa lalu kegilaan saya".Â
Saya masih tetap diam. Memperhatikan kegelisaan yang hadir di wajahnya. Kami terdiam begitu lama hingga beberapa menit. Sayapun tak tahu berkata apa, hingga ia memberanikan diri bercerita.
"Jadi gini bang, mungkin kawan-kawan mahasiswa di Jakarta sudah banyak bercerita. atau bergosip. Apakah abang pernah dengar?" tanya bunga dengan nada serius.
"Gosip apa, Saya jarang bertemu mereka. Lagipula sayapun baru mengenal kamu sekali," jawabku.