Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tentang Pantai, Senja, dan Nelayan

22 Juni 2021   10:56 Diperbarui: 25 Juni 2021   17:47 1169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Empat warga menjala ikan (Dokumentasi Pribadi)

Mentari belumlah sempurna pecah, ombak-ombak masih manja merayu pasir, udara masih sejuk dan air laut masih jauh dari kehangatan ketika soma; jala ikan ditebar. Empat warga di atas perahu berukuran lima meter dengan lebar semeter mulai mendayung sekuat tenaga. 

Segerombolan ikan yang sedari tadi dipantau tanpa sedikitpun suara bising mulai diburu. Ujung soma dilepaskan di pantai, didayung ke tengah kemudian ujung satunya lagi berakhirbatas antara pasir dan ombak.

Segerombolan ikan ini terperangkap, tiga dari mereka kemudian melompat ke dalam lingkaran soma. Membuat suara bising agar ikan-ikan panik dan agar ikan itu terperangkap di soma. 

Seketika, ketika suara bising terjadi, pelampung-pelampung soma mulai bergetar. Di setiap panjang soma, ikan-ikan yang berniat kabur terperangkap. Suasana kepakan ikan yang ingin meloloskan diri menjadi pemandangan yang menakjubkan.

Saya yang sedari pagi memantau dari pinggir pantai juga ikut andil membuat suara bising. Batu-batu saya lemparkan ke dalam soma. Mencoba membantu agar ikan-ikan tidak terlalu menghabiskan tenaga untuk berenang dan membuat suara bising.

Apalagi, kondisi air laut yang pasang dan dinginnya air laut tentu membuat mereka sedikit kewalahan. Kontribusi saya tak banyak, hanya melempar batu ke dalam kemudian duduk lalu menyaksikan mereka berburu.

Saya tak sendiri, ada sekitar tujuh orang plus satu dari kampung sebelah. Di belakang rumah, warga kami duduk lalu melihat ikan-ikan terjebak. Menunjuk sana sini sembari menerka-nerka ikan apa yang mereka dapat.

Sesaat berlalu, soma diangkat. Dua orang di atas perahu bertugas menyusun jaring yang panjang dan mudah kusut itu. 

Dua lagi stay berenang, sedangkan satu menahan perahu dan satu lagi membuka ikatan senar jaring yang terjebak di karang.

Menaikan Jaring ke perahi (Dokumentasi pribadi)
Menaikan Jaring ke perahi (Dokumentasi pribadi)
Belum semua soma diangkat, baru sampai pertengahan, ternyata ikan-ikan masuk ke laut lagi. Satu orang kemudian melompat lagi lalu menebar lagi. Tebaran kedua ini, ikan-ikan terjebak sangat banyak.

Berenang lagi mereka, kami pun ambil batu lalu ikut membuat suara bising tanpa komando. 

Hingga sejam berlalu, soma atau jaring itu belum selesai diangkat. Mereka kewalahan membuka satu persatu ikan yang terjebak di soma. Pelan pelan dilakukan agar soma tak sobek. Sebab jika sobek, maka tebaran berikutnya dapat membuat ikan lolos.

Kami tetap menyaksikan dari pinggir sembari bercerita betapa hebatnya kekayaan laut ini. Ikan-ikan yang tak pernah memakan umpan ketika dipancing.

Waktu berlalu, matahari sudah mulai pecah. Ikan yang terperangkap semuanya sudah diangkut ke dalam perahu. Semua jaring sudah masuk perahu.

Seorang dari mereka; pemilik perahu dan jaring, memberikan kode ke salah satu dari mereka. Si penerima pesan paham apa yang dimaksud. 

Ia melompat, mengambil ikan lalu membagikan ke kami yang sedari tadi menonton. Kami dihadiahi dua ekor perorang. Tanpa rupiah yang keluar. Betapa terkejutnya saya, jujur saya saja mematung. Heran. 

Ikan Hasil pemberian nelayan (Dokumentasi pribadi)
Ikan Hasil pemberian nelayan (Dokumentasi pribadi)
Setelah semua orang yang berada di pinggir pantai menyaksikan tadi diberi ikan, mereka kemudian melanjutkan aktivitas penangkapan di lokasi lain. Mendayung ke arah utara melihat kumpulan-kumpulan ikan.

Di sore hari pun mereka kembali melakukan aktivitas menjaring. Ikan-ikan hasil jaring kemudian dijual jika mendapatkan hasil yang banyak. Kemudian dibagikan ke masyarakat jika hasilnya sedikit.

**

Mentari memancarkan kemerahan di kolong langit. Pantulannya diabadikan laut. Menjadi sketsa dalam kanvas kehidupan. 

Dua tiga hingga lebih anak-anak berlari riang. Melompat ke laut dengan gaya masing-masing. Bapak-bapak tak tinggal diam, berendam, menyeka badan hingga berenang-renang kecil.

Anak-anak muda penyuka senja mulai bermunculan. Di atas pasir pantai hingga di atas talud. Menyaksikan kemegahan ciptaan Allah SWT bernama sunset. Semabari merangkai ide dan rindu perihal senja pada kekasih masing-masing.

Laut yang teduh dan angin yang tak kencang ubahnya surga bagi warga. Mereka yang punya perahu mulai menarik perahunya, menyiapkan dayung, bekal gingga senar. Memancing menuju spot masing-masing. 

Sebelum matahari benar-benar tenggelam membawa kegelapan, mereka sudah harus di atas spot. Jam segini ikan lagi kelaparan.

Sementara yang tak punya perahu, memilih memancing di pinggir pantai. Masing-masing dari mereka punya spot-spot potensial sendiri. Berkelompok dari dua hingga lebih bahkan ada dari mereka yang harus keluar ke kampung sebelah untuk memancing.

Mereka memancing hingga pertengahan malam. Tak ada target ikan apa yang akan dipancing. Selama ada yang diperoleh itulah yang dibawa pulang.

Walaupun kadang-kadang tak dapat juga karena kondisi karang-karang rusak di belakang kampung. Sehingga inisiatif ke kampung sebelah menjadi solusi walau ditempuh dengan jalan kako yang lumayan dengan medan yang berat.

Hasil mancing selama beberapa jam (Dokumentasi pribadi)
Hasil mancing selama beberapa jam (Dokumentasi pribadi)
Untuk hasil tak banyak, dapat 10 ekor itu prestasi yang bakalan menjadi cerita esok hari. Cerita tentang berapa yang didapat semalam biasanya menjadi sajian hangat di desa. Apalagi jika salah satu nelayan menarik ikan dengan bobot diatas lima kilo.

Cerita hasil tangkap ini kemudian menjadi sebuah sirklus. Sehingga banyak mendorong warga untuk ikut memancing. Walau kadang-kadang pulang tanpa hasil.

Pantai, senja dan nelayan adalah tiga kesatuan menjadi satu bagi masyarakat desa pesisir. Di setiap waktu dan detik yang mereka jalankan di desa, tiga kesatuan ini selalu melekat. 

Menjadi ruang berharga dan tak ternilai harganya. Ketiganya butuh keseimbangan, satu saja terganggu akan menimbulkan distorsi yang kuat pada aktivitas warga. (sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun