"Pedangan (PKL) yang berjualan di emperan dan lahan parkir pasar Gamalama Kota Ternate akan ditertibkan. Hal ini agar lokasi parkir difungsikan kembali,"
Begitulah gambaran besar dari beberapa headline media baik cetak maupun online di Maluku Utara yang saya baca. Berita ini seakan menjadi pengingat entah sudah berapa kali penertiban dilakukan kepada pedagang (PKL) utamanya pedagang sayur, pisang, barito (bawang rica tomat) dan sejenis yang berjualan di parkiran, trotoar, taman hingga di luar area pasar.Â
Seperti yang saya temukan dua hari lalu dalam sebuah kunjungan guna projek sosial. Di mana para pedagang bahkan berjualan jauh ke pinggiran pasar dan menggelar daganganya disepanjang ruas jalan khusus untuk pedagang kuliner.
Semacam ada perlawanan terhadap pemerintah karena tidak mendapatkan tempat di dalam pasar.
Penertiban ini merupakan sebuah permasalahan yang secara kontinyu terus berulang. Di tertibkan lalu kembali lagi berjualan di tempat tersebut beberapa hari kemudian.
pasar tradisional jarang dikunjungi oleh konsumen sehingga berpengaruh pada pendapatan.
Permasalahan klasik ini didasari berbagai faktor, yakni lokasi atau lapak yang disediakan Pemda diKedua. Faktor sewa. Banyak PKL mengeluhkan biaya sewa lapak yang mahal. Setiap hari mereka harus mengeluatkan biaya retribusi berulang-ulang karena adanya oknum nakal yang mengambil kesempatan. Konklusinya mengarah ke pungli.
Dan faktor ketiga, jual beli lapak. Pedagang yang mau mendapat lokasi strategis harus berurusan dengan "oknum" internal. Di mana mereka harus mengeluarkan biaya yang tak kecil, puluhan juta rupiah. Harga mengikuti ukuran lapak. Semakin besar semakin mahal.
Sebuah permasalahan serius yang selalu dikeluhkan oleh pedagang dan tak jarang menjadi headline diberbagai berita atas praktik yang dikerjakan. Namun tak jua dapat dihilangkan walaupun ada berbagai kebijakan dari Pemda.
Faktor pertama kemudian menyebabkan PKL merengsek maju ke depan pasar yang notabenenya ialah lokasi parkir konsumen. Beberapa pedagang yang sering saya temui berujar, pilihan mereka berjualan di lahan parkir atau bahu jalan karena di sini pendapatan mereka lebih besar.Â
Walau tak memiliki lapak sekalipun dan berjualan dengan alas sederhana dengan membayar retribusi setiap hari.
Sementara di lokasi yang disediakan justru jarang dikunjungi dan berada di lokasi paling dalam. Sebab lokasi di ruko atau lapak yang berada di depan kebanyakan milik pedagang dengan kategori penghasilan besar.
Akibatnya, bagi pengunjung yang berbelanja dan membawa kendaraan; kebanyakan roda dua, kena imbasnya. Lahan parkir pasar yang luas menjadi sempit dan mengharuskan parkir di bahu jalan. Pada akhirnya kemacetan tak terelakan. Akibat ruas jalan yang tak sampai tiga meter.
Saya sendiri beberapa kali sering berdebat dengan petugas yang melarang parkir di area parkir pasar karena menyebabkan kemacetan. Selain itu sering sekali saya kena marah oleh petugas karena memarkir di lokasi lapak milik pedagang yang berpenghasilan agak besar.
Padahal, lahan parkir yang begitu luas ini seharusnya bisa menampung semua kendaraan baik roda dua hingga roda empat namun justru beralih fungsi dengan kehadiran lapak-lapak kecil di area parkiran.
Berdirinya lapak yang memenuhi lahan parkir sangat intens terjadi kala memasuki hari-hari besar keagamaan seperti Idul Fitri hingga Natal. Banyak pedagang musiman utamanya yang tiba-tiba mendirikan lapak. Banyak dari mereka mengakui pendirian lapak tersebut dibarengi dengan pengeluaran biaya yang tak sedikit.Â
Kejadian ini mengingatkan saya pada kondisi beberapa tahun silam. Di mana beberapa pedagang mengungkapkan, mereka harus mengeluarkan biaya hingga duapuluh juta hingga enam puluh juta untuk ukuran lapak yang tak sampai 1x1 meter. Keluhan itu ditambah dengan biaya retribusi yang kadang dibayat berkali-kali dalam sehari.
Permasalahan ini sudah banyak dikeluhkan warga. Namun tetap saja terjadi dan pengunjung tak mempunyai pilihan. Sementara para pedagang pun sama.
Mereka selalu berhadapan dengan ketidakbijaknya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kota. Bahkan tak jarang pula berhadapan dengan oknum-oknum petugas nakal.
Tak jarang pula para pedagang melakukan perlawanan. Pernah tenar ketika banyak pedagang membuang jualanya karena tak diberi tempat. Atau bermasalah dengan petugas pasar.
Pasar tradisional adalah cerminan dari ekonomi sosial masyarakat lokal yang tidak dimiliki pasar moderen. Di sini hidup banyak harap dari masyarakat atau pedagang yang mengais rupiah demi bertahan hidup di tengah pergeseran fungsi pasar ke arah moderen.Â
Sebuah cerminan ekonomi usaha rakyat skala mikro. Sehingga butuh seniergitas dan penataan manajemen yang baik agar eksistensi sektor rill ini dapat terselatkan terjaga.Â
Sinergitas antar sektor dalam perbaikan utamanya hak-hak pedagang dan konsumen perlu dikerjakan dengan kerjasama yang kuat. Â Penataan tata ruang pasar perlu digalakan yang didukung kajian-kajian keilmuan sehingga tak ada lagi keluhan atau kerugian.
Selain itu, penguatan utama perlu ditekankan pada pemberantasan praktek pungutan atau jual beli lapak yang menjadi citra buruk dan tak pernah hilang dari pasar tradisonal. (sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H