Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pasar Tradisional, Antara Sempitnya Parkiran dan Kubangan Kepentingan

21 Agustus 2021   01:48 Diperbarui: 21 Agustus 2021   09:08 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedagang yang berjualan jauh dari Lokasi Pasar (dokpri)

Walau tak memiliki lapak sekalipun dan berjualan dengan alas sederhana dengan membayar retribusi setiap hari.

Sementara di lokasi yang disediakan justru jarang dikunjungi dan berada di lokasi paling dalam. Sebab lokasi di ruko atau lapak yang berada di depan kebanyakan milik pedagang dengan kategori penghasilan besar.

Akibatnya, bagi pengunjung yang berbelanja dan membawa kendaraan; kebanyakan roda dua, kena imbasnya. Lahan parkir pasar yang luas menjadi sempit dan mengharuskan parkir di bahu jalan. Pada akhirnya kemacetan tak terelakan. Akibat ruas jalan yang tak sampai tiga meter.

Memarkir kedaraan di bahu jalan (dokpri)
Memarkir kedaraan di bahu jalan (dokpri)
Saya sendiri beberapa kali sering berdebat dengan petugas yang melarang parkir di area parkir pasar karena menyebabkan kemacetan. Selain itu sering sekali saya kena marah oleh petugas karena memarkir di lokasi lapak milik pedagang yang berpenghasilan agak besar.

Padahal, lahan parkir yang begitu luas ini seharusnya bisa menampung semua kendaraan baik roda dua hingga roda empat namun justru beralih fungsi dengan kehadiran lapak-lapak kecil di area parkiran.

Berdirinya lapak yang memenuhi lahan parkir sangat intens terjadi kala memasuki hari-hari besar keagamaan seperti Idul Fitri hingga Natal. Banyak pedagang musiman utamanya yang tiba-tiba mendirikan lapak. Banyak dari mereka mengakui pendirian lapak tersebut dibarengi dengan pengeluaran biaya yang tak sedikit. 

Kejadian ini mengingatkan saya pada kondisi beberapa tahun silam. Di mana beberapa pedagang mengungkapkan, mereka harus mengeluarkan biaya hingga duapuluh juta hingga enam puluh juta untuk ukuran lapak yang tak sampai 1x1 meter. Keluhan itu ditambah dengan biaya retribusi yang kadang dibayat berkali-kali dalam sehari.

Permasalahan ini sudah banyak dikeluhkan warga. Namun tetap saja terjadi dan pengunjung tak mempunyai pilihan. Sementara para pedagang pun sama.

Mereka selalu berhadapan dengan ketidakbijaknya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kota. Bahkan tak jarang pula berhadapan dengan oknum-oknum petugas nakal.

Tak jarang pula para pedagang melakukan perlawanan. Pernah tenar ketika banyak pedagang membuang jualanya karena tak diberi tempat. Atau bermasalah dengan petugas pasar.

Pasar tradisional adalah cerminan dari ekonomi sosial masyarakat lokal yang tidak dimiliki pasar moderen. Di sini hidup banyak harap dari masyarakat atau pedagang yang mengais rupiah demi bertahan hidup di tengah pergeseran fungsi pasar ke arah moderen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun