Sebuah Cerita, Anak Pasar
Sebut saja namanya Yadin, Si Anak Pasar. Begitu aku mengenalnya. Tetanggaku dulu semasa sekolah. Gara-gara dia, akupun sempat "mencicipi" aroma khas dari pasar; bauh apek, anyir, sayur busuk, dan berbagai bauh lainnya. Aku, menjadi anak pasar sesaat. Ah sebuah nostalgia.
Sepulang sekolah, Yadin tak berleha-leha, layaknya anak lain yang memilih tidur siang dan melepas lelah sehabis dicekoki pelajaran di ekolah. Atau, ketika sore bermain sepak bola.Â
Anak ketiga dari tiga bersaudara ini sehabis mengganti pakaian, dan makan siang lalu tancap gas menuju ke salah satu pasar tradisional di Ternate. Pasar Gamalama.
Perjalanan Ia tempuh berjalan kaki dengan perkiraan sampai ke pasar menjelang pukul tiga atau empat. Di saat seperti ini, pasar mulai ramai karena banyaknya pengunjung.
Sesampainya di Pasar Ia lalu menuju kios langgannya. Mengambil kantong kresek. Ia bisa menjual dengan sistem dibayar diakhir atau ia beli tapi membayar sehabis terjual.
Biasanya ia memilih membeli beberapa buah karena keuntungan sedikit besar. Katong kresek tersebut kemudian diikat dengan tali rapia lalu diselempang ke badan. Sementara sisanya Ia pegang.Â
Dari sini Ia mulai beraksi. Kadang bersama satu atau dua orang kadang sendiri. Setiap pengunjung dihampiri. Terutama ibu-ibu yang kerepotan membawa barang belanjaan serta tidak membawa keranjang.
Ia dan teman-temannya tak malu menawarkan kantong kresek ke pembeli. Biasanya langsung dihampiri. Bahasa pertama yang dikeluarkan ialah "Bu, tas bu?; tas disana ialah kantong kresek.
Para konsumen ini tak lantas menerima begitu saja. Bahkan, banyak yang abai tanpa membalas tawaran dan berlalu begitu saja.
Satu saja pembeli yang mengiyakan membeli kantong kresek mereka maka hari itu mereka pulang membawa rupiah. Sebab, selain menawarkan kantong kresek, mereka langsung diajak berkeliling.Â