" Tindakan kekerasan seksual saat ini tidak hanya terjadi diluar, tetapi di komunitas kecil seperti keluarga justru sangat masif terjadi"
Mawar dan Melati tak menyangka pertemuan mereka dengan seorang lelaki saat berjalan pulang berbuah petaka. Mereka dibujuk seorang pria dewasa dengan dalil diantar pulang. Namun sayang, justru dibawa ke rumah pria dan disetubuhui tujuh lelaki secara bergilir.
Dua wanita bau kencur berumur 15 dan 16 tahun yang baru duduk dibangku sekolah menengah pertama ini kepayahan setelah para pria-pria itu melampiaskan napsu bejatnya.Â
Sementara di sebuah keluarga di Halmahera sana, Bunga lebih sial lagi. Sejak 2017, Ia menjadi bulan-bulanan birahi dari sang ayah, paman hingga kakek. Ia disetubui terlebih dulu oleh sang kakek di kebun, kemudian berjalan waktu diperkosa oleh sang ayah yang mabuk dan sang paman yang juga dalam keadaan mabuk. Bunga tak menyangka, Ia dihancurkan tanpa iba atau belas kasih oleh mereka yang memiliki pertalian darah.
Dua kejadian di atas terungkap belakangan ini dengan rentan waktu seminggu. Bulan-bulan sebelumnya, atau ditahun sebelumnya kasus kriminal ini juga masif terjadi. Seakan-akan ini menjadi biasa yang membentuk pola baru.
Pemerkosaan hingga pelecehan seksual melibatkan remaja yang digerayami beramai-ramai atau bahkan keluarga sendiri. Yang terakhir ini justru sering terjadi. Ayah memperkosa anak, Kakek memperkosa cucu, cucu memperkosa nenek dan tindakan abnormal lainnya.
Maraknya kejahatan seksualitas seperti ini justru semakin dekat ke lingkungan keluarga. Keluarga yang seharusnya menjadi benteng anak-anak dari ancaman kejahatan dan merupakan tempat tumbuh kembang anak, kehangatan, pendidikan, serta religi justru menjadi ancaman nyata kejahatan ini berjalan. Dan kadang berjalan lama sebelum terungkap karena ketakutan sang anak.
Secara kemanusiaan, saya geram setiap kali membaca informasi kejahatan seperti ini. Apalagi pola kejahatan ini melibatkan keluarga. Sebuah tindakan tak berprikemanusiaan.Â
Betapa tidak, bisa-bisanya orang yang mempunyai pertalian darah melampiaskan hasrat seksnya kepada keturunan mereka sendiri. Darah daging mereka sendiri.Â
Kondisi yang disebut sebagai Familial Abouse, (Amin et al, 2015) ini justru malah sering terjadi di mana antara korban dan pelaku memiliki hubungan darah dengan tiga kategori kekerasan yakni penganiyayaan, perkosaan dan perkosaan secara paksa Tower (2002)Â
Kejadian seperti ini intens terjadi sementara pihak-pihak terkait tak ubanya robot tanpa baterai. Tak bergerak dan kaku. Hanya memandang persoalan ini sebatas ranah kriminal alias ranahnya hukum
*
Menurut Gugah Nurani Indonesia, kejahatan seksual melibatkan pelaku baik dari dalam maupun luar familial. Dalam konteks familial, di dalamnya termaksud keluarga inti dan keluarga luas.
 Extra Familial yaitu orang-orang di luar keluarga seperti tetangga, guru, teman dan orang asing yang tak dikenal sama sekali.
Di luar komunitas keluarga (extra Familial), nilai-nilai kebudayaan yang mulai hilang menjadi pokok kejahatan seperti pelecehan seksual hingga pemerkosaan. Kurangnya kontrol dan pergeseran kebudayaan juga menambah alasan seperti yang terjadi pada kasus pertama di atas.
Cerita mengenai extra familial ini juga sering kali terjadi. Ada yang lolos dan ada yang apes. Seperti cerita salah satu kerabat belum lama ini selang beberapa waktu sejak dua Kejadian diatas terungkap.
Ia yang hendak pulang ke rumah setelah menyebrang dari Sofifi, Ibu kota Provinsi menuju Ternate. Setelah sampai Ia memesan ojek. Dalam perjalanan, ia merasakan hawa-hawa keburukan dari oknum ojek tersebut.Â
Oknum ojek tersebut memacu kendaraan dengan kencang hingga membuat si penumpang gemetar. Sesekali ia mengerem secara mendadak agar terjadi gesekan.
Belum cukup di situ, motor ia pacu berlawanan arah dengan arah pulang. Dan, tanganya meraba-raba kaki si penumpang.
Tak mau gelap mata, Ia berteriak dan memaksa agar sopir menurunkan ia sebelum terlambat. Karena teriakannya dan jalanan yang ramai, pengemudi tersebut terpaksa berhenti.Â
Ia kemudian turun dengan ketakutan luar biasa. Tanpa basa-basi, ia menyerahkan sewa ojek sebesar lima ribu rupiah. Menyerahkan dengan wajah pucat dan tangan yang gemetaran. Si pengemudi lantas pergi, tetapi sebelum pergi, terlebih dulu mengacungkan salam jari tengah kepadanya.
"Rautnya kesal. Dan kelihatan ada niat jahat dari dia (pengemudi red).," ujarnya.
Ia lantas memesan ojek lagi. Dan sampai di rumah dengan selamat walau mengalami tekanan psikologis yang hebat.
Tiga kejadian ini adalah bukti bahwa kejahatan seksual kepada perempuan dan anak terjadi di mana-mana. Bahkan dalam kasus hubungan sedarah yang abnormal dan tak mengenal belas kasih.
Tentu ini harus menjadi bahan refleksi dan tidak sepenuhnya diserahkan hanya pada ranah pidana. Semya pihak harus punya andil melihat situasi ini sebagai sebuah pola baru yang tidak menguntungkan.
Apalagi dalam beberapa bulan sejak pademi ini, korban terbanyak ialah anak-anak dibawa umur. Anak-anak yang oleh UU No 52 tahun 2009 diamanatkan untuk dijaga dan dilindungi oleh keluarga guna meningkatkan kualitas anak atau komunitas mereka berada.
Hal ini berdasarkan berdasarkan data Simfoni PPA 2021, selama tahun 2021 jumlah kekerasan anak dan perempuan berdasarkan lokasi terjadi dilingkungan keluarga (rumah tangga) dengan spesifikasi kasus tertinggi ialah kekerasan seksual (221 kasus)
Sementara dikutip dari kompas.com, (04/01/2021) berdasarkan laporan Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA), jumlah kasus kekerasan perempuan dan anak selama tahun 2020 terjadi peningkatan yakni 38 persen dan ada 2.700 kasus (pelaporan) kekerasan terhadap anak dengan kasus tertinggi ialah kekerasan seksual (52 persen).
Dari data ini, ditarik kesimpulan bahwa tindak kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak sangatlah tinggi dan cenderung terjadi setiap tahun. Bahkan jika dilihat, pada tahun 2021 saja sudah mencapai 201 kasus kekerasan seksual. Artinya setiap tahun tidak mengalami penurunan.
Menurut Komnas Perempuan dalan Catatan Tahunan 2020 terdapat beragam spektrum yaknu dalam 12 tahun kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% meninfkat 8 kali lipat. Kemudian, kekerasan terhadap anak perempuan melonjak 2.341 kasus naik 65 persen dengan 571 kasus insens dan kekerasan seksual.
Tentu kondisi ini bagi saya adalah " Kode merah". Kondisi yang tidak baik-baik saja jika tidak mendapat perhatian serius. Sebab akan berpengaruh pada kondisi sosial kemasyarakatan dan kondisi psik dari korban itu sendiri. Terutama pada anak-anak sebagai generasi masa depan.
Maraknya tindakan kekerasan seksual baik dalam maupun luar keluarga terjadi karena beberapa faktor, diantaranya rendahnya pengawasan, pengasuhan, pergaulan, minimnya pengetahuan dan kehampaan spritual yang berujung ke krisis moral. (Hidayatulloh 2019).
Degradasi moral telah mendorong seseorang mengabaikan norma, ada dan nilai kemanusiaan yang berujung pada diabaikannya hak asasi manusia kepada korban seksual.Â
Oleh karena itu, berbagai fakta, data dan kondisi yang melatarbelakangi menjadi catatan bagi kita guna ikut andil mencegah tindakan-tindakan kekerasan seksual ini tanpa perlu menunggu lembaga-lembaga terkait bergerak.Â
Bergerak membantu pemerintah dalam unit-unit terkecil di lingkungan sendiri lebih bermakna ketimbang berharap kebijakan yang terus berubah-ubah dan cenderung tidak berefek.
Sebab selama ini saya memperhatikan, banyak sekali intensitas kekerasan seksual yang terungkap kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak (LSM, mahasiswa, masyakat dll) kecuali pada ranah hukum.Â
Kebanyakan tindakan berada pada ranah serimonial (dialog,diskusi publik, seminar) jarang diimplementasikan secara aplikatif di lapangan. Sehingga, keadaan tersebut akan hilang dengan sendirinya dan akan hangat kembali ketika ada kasus yang sama terulang.
Secara tidak langsung jika pola perhatian tersebut dipakai maka sama saja kita benar-benar mengabaikan kondisi bahwa kejahatan seksual semakin mengancam kehidupan bermasyarakat.
Kekerasan seksual adalah kejahatan serius yang saat ini marak terjadi seiring perkembangan peradaban. Sehingga sudah menjadi tanggung jawab setiap individu dalam keluarga maupun lingkungan luar.
Edukasi, pembekalan pengetahuan tentang kekerasan seks, peningkatan religiuitas, penanaman norma adat dan budaya adalah beberapa langkah yang berkaitan erat dalam lingkungan keluarga, sekolah hingga lingkungan kemasyarakatan.
"Tindakan kecil yang dilakukan secara terus menerus akan memberikan dampak yang cukup luar biasa dan kadangkala tak kita sadari, (sukur Dofu-dofu)"
Sumber :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H