Malam ini makan apa? tanya seorang kawan di balik bilik pintu.
"Seperti biasa aja mas, telur," Jawabku tanpa gerak dari depan laptop.
"Oke,"Â Jawabnya singkat. Beberapa menit kemudian terdengar bunyi suara sepeda motor tanda ia dan seorang teman lagi pergi berbanja.
Tiga puluh menit kemudian, mereka membawa sekantong telur berisi delapan buah telur yang ia beli di warung langganan. Sebuah warung sembako yang terletak di perempatan jalan Kampus Dalam Kecamatan Dramaga, Bogor.
Dalam seminggu, kami bertiga meluangkan waktu belanja dua kali. Artinya dalam seminggu kami mengkonsumsi telur 16 buah.Â
Delapan buah telur kami beli seharga Rp. 12 ribu rupiah. Dan jarang melakukan pembelian perbutir. Kadang, karena sudah saling kenal, si penjual sering memberi bonus dua sampai tiga butir telur. Â Jika sedang mahal, kami akan mengurangi porsi pembelian.Â
Kami lebih memilih menu sederhana, ketimbang menu yang kompleks dan harus keluar mencari makanan. Entah kenapa rasa malas dan cenderung kurang meyukai bepergian keluar kosan.
Alasan lain, karena telur begitu sederhana diolah. Tinggal dipecahin, diaduk, diberi sedikit bumbu eksprimen, di goreng dan dihidangkan.
Bagian eksperimen ini menjadi keahlian salah satu sahabat saya yang berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Bagi saya dan salah satu kawan, ia adalah jelmaan ibu kami. Bahkan, bahasa lelucon seperti " Mas, nafkahi kami"sering kami ucapkan ketika lapar mulai melanda.
Jika sudah begini, ia langsung bergegas. Memasak dan bereksprimen sesuka hati. Satu menu andalan yang sering ia olah yaitu telur dicampur tahu.Â
Mula-mula, ia mengancurkan tahu, kemudian mencampur telur lalu diaduk. Sebagai tambahan, ia menambah merica, daun bawang hingga bumbu penyedap. Jika tak mau ribet, telur ceplok dan kecap manis.Â