Tahapan pencoblosan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) sudah di depan mata. Namun, selama sesi kampanye atau debat yang dilaksanakan KPU, baik yang disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi, maupun live medsos, tak ada satupun kandidat atau panelis yang menyinggung bagaimana inovasi dan penyelesaian permasalahan sampah.
Yap, sampah baik sampah rumah tangga atau sampah plastik. Sebuah permasalahan sehari-hari yang lekat dengan kehidupan masyarakat. Masalah urgent namun terabaikan.
Perdebatan yang terjadi justru pada tataran good government, arah kebijakan ekonomi makro dan mikro, tanggapan dan sikap terhadap Omnibus Law yang menjebak itu dan bagaimana kondisi kesejahteraan. Tatarannya pada sisi politik dan birokrasi.
Sementara perihal mendasar seperti sampah, krisis air hingga tanah luput dari pembahasan. Terkesan menghamburkan uang hanya untuk mendengarkan visi dan misi yang usang.
Kota Ternate misalnya, dari empat kandidat tak ada satupun menyentil soal ini. Baik pada debat pertama maupun debat kedua. Padahal, kota dengan jumlah penduduk terbanyak dan merupakan kota perdagangan penting di Maluku Utara.
Dikutip dari Antara News setiap hari Kota Ternate pada tahun 2019, bisa menghasilkan 300 ton sampah. Jumlah ini adalah jumlah yang dapat ditampung di TPA. Sementara dikutip dari Kumparan, Dinas Lingkungan hidup mencatat hampir 60-80 ton (per Februari 2019) sampah dihasilkan per hari.
Ini terlihat jelas dimana armada pengangkutan yang seharusnya melakukan pengangkutan setiap hari kadang datang 3 hari sekali atau seminggu sekali.
Di kelurahan saya, tumpukan-tumpukan sampah sering berserakan di depan jalan. Dengan armada angkut yang tak kunjung datang maka sudah tentu sampah tersebut akan bau. Ditambah, sampah tersebut berceceran ke selokan yang menyebabkan aliran selokan menjadi mandek.Â
Alhasil, bau menyengat dari tumpukan sampah dan selokan menjadi pemandangan yang tak terelakkan. Setiap minggu memang dilakukan pembersihan selokan dan sampah-sampah oleh warga, namun selang beberapa hari permasalahan ini terulang lagi.
Di samping itu, banyak pula yang membuang sampah ke kali mati. Baik sampah kering maupun sampah basah. Alhasil ketika musim penghujan tiba, yang terjadi ialah luapan air keluar dari bibir kali mati hingga sampah-sampah yang menuju laut.
Di perumahan yang berdekatan dengan laut, atau pasar-pasar tradisional. Praktik pembuangan sampah justru lebih mencengangkan. Semua dibuang kelaut.
Selain itu, sampah yang dihasilkan disini ialah sampah lokal dan sampah kiriman. Yap, Ternate adalah salah satu kota transit utama di Maluku Utara. Dari Ternate, orang-orang akan datang atau pergi kemana saja.
Alhasil, aktivitas manusia dan segala praktikny juga turut menyumbang sampah di kota kecil ini. Sampah-sampah ini lebih banyak ditemukan pinggiran laut. Bila di telusuri, setiap garis pantai di sini sudah dipenuhi oleh sampah-sampah plastik.
Permasalahan ini sebenarnya sudah menjadi masalah klasik yang mendapat perhatian cukup serius. Berbagai lembaga dan LSM sudah sering melakukan gerakan pembersihan juga advokasi. Misalnya di pusat-pusat pelabuhan besar, perbelanjaan dan pertokoan disediakan tempat-tempat sampah kecil.Â
Sementara, berbagai inovasi juga sering digalakkan oleh anak-anak muda tentang tidak membuang sampah ke laut, ke kali mati dan mengelola sampah agar menjadi barang bernilai. Akan tetapi, gerakan-geralan masif itu tidak justru membuat masyarakat sadar lingkungan.
Sebuah pola dasar pengangkutan sampah yang oleh penelitian Akbar et al (2014) menemukan bahwa sistem pengelolaan sampah di Kota Ternate masih menggunakan pola tradisional yakni kumpul, angkut, dan buang.
Selain permasalahan ini, tentu minimnya infrastruktur terutama armada angkut dan pola manajemen pengangkutan sepertinya harus ditata kembali. Sebab, dengan manajemen yang ada, pola pengangkutan kadang setiap minggu sekali atau 2-3 hari sekali.
Selain itu, masih minim sosialisasi terutama di kelurahan-kelurahan agar tidak membuang sampah sembarangan. Hal ini menyebabkan masyarakat bersikap acuh. Pola karakteristik acuh ini pula yang menjadi sebab kenapa banyak sampah dibuang dan ditumpuk sembarangan.
Tak jarang praktik membuang sampah baik basah atau kering dilakukan secara serampangan. Diletakan begitu saja tanpa membuang ke tempat yang sudah disediakan pemerintah.Â
Bahkan, jika ditelisik lebih jauh, banyak sampah dibuang di lorong atau gang yang dekat dengan rumah warga dan sarana publik seperti sekolah maupun perkantoran.Â
Lantas kenapa para kandidat tidak menyentil persoalan ini? Apakah mereka menilai persoalan sampah hanyalah persoalan sosial biasa?
Saya sendiri cukup menyesalkan kondisi ini. Padahal lewat debat yang menguraikan visi misi, masyarakat mendapat gambaran akan kemana kepemimpinan lima tahun kebdepan.
Bagaimana cara mereka bekerja, mengatasi, dan menyelesaikan problem-problem sosial yang erat dengan masyarakat. Selain itu, dalam penyampaian visi-misi, gambaran tentang sebuah persoalan dapat melekat erat ke masyarakat yang nantinya ketika implementasi, masyarakat sudah sedikit siap.
Persoalan-persoalan dasar yang tak disinggung ini juga menandakan bahwa politik masih buta pada kondisi sosial. Padahal, persoalan sampah begitu erat dengan kehidupan masyarakat yang dapat memengaruhi kesehatan dan lingkungan. (Sukur Dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H