Di perumahan yang berdekatan dengan laut, atau pasar-pasar tradisional. Praktik pembuangan sampah justru lebih mencengangkan. Semua dibuang kelaut.
Selain itu, sampah yang dihasilkan disini ialah sampah lokal dan sampah kiriman. Yap, Ternate adalah salah satu kota transit utama di Maluku Utara. Dari Ternate, orang-orang akan datang atau pergi kemana saja.
Alhasil, aktivitas manusia dan segala praktikny juga turut menyumbang sampah di kota kecil ini. Sampah-sampah ini lebih banyak ditemukan pinggiran laut. Bila di telusuri, setiap garis pantai di sini sudah dipenuhi oleh sampah-sampah plastik.
Permasalahan ini sebenarnya sudah menjadi masalah klasik yang mendapat perhatian cukup serius. Berbagai lembaga dan LSM sudah sering melakukan gerakan pembersihan juga advokasi. Misalnya di pusat-pusat pelabuhan besar, perbelanjaan dan pertokoan disediakan tempat-tempat sampah kecil.Â
Sementara, berbagai inovasi juga sering digalakkan oleh anak-anak muda tentang tidak membuang sampah ke laut, ke kali mati dan mengelola sampah agar menjadi barang bernilai. Akan tetapi, gerakan-geralan masif itu tidak justru membuat masyarakat sadar lingkungan.
Sebuah pola dasar pengangkutan sampah yang oleh penelitian Akbar et al (2014) menemukan bahwa sistem pengelolaan sampah di Kota Ternate masih menggunakan pola tradisional yakni kumpul, angkut, dan buang.
Selain permasalahan ini, tentu minimnya infrastruktur terutama armada angkut dan pola manajemen pengangkutan sepertinya harus ditata kembali. Sebab, dengan manajemen yang ada, pola pengangkutan kadang setiap minggu sekali atau 2-3 hari sekali.
Selain itu, masih minim sosialisasi terutama di kelurahan-kelurahan agar tidak membuang sampah sembarangan. Hal ini menyebabkan masyarakat bersikap acuh. Pola karakteristik acuh ini pula yang menjadi sebab kenapa banyak sampah dibuang dan ditumpuk sembarangan.
Tak jarang praktik membuang sampah baik basah atau kering dilakukan secara serampangan. Diletakan begitu saja tanpa membuang ke tempat yang sudah disediakan pemerintah.Â