Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Keranjang-keranjang Kehidupan

12 November 2020   18:23 Diperbarui: 15 November 2020   05:04 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Pedagang Makanan di Pelabuhan Bastiong Kota Ternate

Matahari sudah pergi meninggalkan cerita. Tentang cinta, kisah dan manusia. Sementara malam telah tiba membawa berita, tentang alam, tuhan dan manusia.

Malam itu pukul delapan, di Pelabuhan Bastiong, Kota Ternate saya dirundung kecemasan. Langkah kaki saya percepat menuju kapal laut yang berjarak 15 meter dari area parkir. Saking terburu-buru, saya lupa pamit atau sekedar bersalaman dengan si pengantar yang tak lain adik sendiri. 

Kecemasan saya lantaran kapal yang hendak saya tumpangi menuju Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan sudah membunyikan klakson sebanyak tiga kali dan pengumuman sang kapten agar yang tidak berkepentingan segera turun. Kata orang-orang, kapal tak lama lagi bertolak ke tujuan. Apalagi, mesin sudah mulai dinyalakan. Jika sudah begini, bukan saya saja yang panik. Penumpang lainpun sama, berlari-lari kecil.

Jadwal kapal yang seharusnya pukul 20.30 sepertinya dimajukan tidak seperti biasanya yang molor hingga ke jam 21.00 atau 21.30. Alhasil, perasaan was-was ditinggal pergi kapal  mirip menembak pacar. Tak jelas pasti apa jawabanya.

Alhasil, kepanikan saya membuat diri tak peduli lagi pada lingkungan sekitar. Kalau ketinggalan bisa apes. Tiket seharga 175 ribu harus diterima sebagian saja. Dan perjalanan ditunda besok malam. Saking tak peduli, sepanjang jalan menuju kapal tadi, saya ingat banyak pedagang menawarkan jajajan.

Pun dengan seorang anak perempuan yang berada tepat disamping saya yang menaruh keranjang jualan ditangan kiri dan sebotol air mineral yang ia tawarkan ketika hendak menaiki kapal.

Begitu juga ketika menuju dek (lantai) dua, tempatnya tiket kelas ekonomi; dek satu dan dua dikhususkan untuk pemegang tiket ekonomi. Sementara dek tiga untuk kelas bisnis. Tawaran para ibu-ibu maupun remaja yang menjual air mineral, nasi kuning, kacang rebus, jagung, permen, rokok dll, tak saya hiraukan.

*

Dokpri. Pedagang Makanan di Pelabuhan Bastiong Kota Ternate
Dokpri. Pedagang Makanan di Pelabuhan Bastiong Kota Ternate
Apes memang ditengah kepanikan, manusia selalu lupa segala hal. Lebih-lebih tak peduli dengan sesama karena tujuan yang hendak dicapai. Lupa pada segala-galanya.

Alhasil, lima belas menit sebelum lepas bandar, saya duduk termenung di barak 118; kasur tempat tidur penumpang yang mirip dengan barak milik tentara atau polisi saat pelatihan. Saya lupa bawa air, dan bekal. Hanya sebungkus rokok yang saya gengam. Bisa apa dengan rokok sebungkus ini, pikirku dengan kesal.

Kesal karena ditengah perjalanan nanti saya kelaparan. Apalagi dengan cuaca yang sedikit bergelombang.

Ingatan tentang perempuan muda yang menggengam sebotol air mineral tadi terbayang. Wajah polos yang saya lihat sekilas begitu melekat dan berisik di kepala.  Pun dengan seorang ibu yang mengejar sampai ke barak dengan harapan saya mengeluarkan selembar uang.

Harusnya tadi saya sempatkan membeli air atau jagung bakar yang menggoda. Atau sebungkus nasi kuning yang isinya ikan goreng dan mie. Saya terlalu egois merogok kantong dan mengeluarkan rupiah. Menyesal tiada arti.

Toh, Bisa saja si anak perempuan tadi sedang membutuhkan uang untuk jajan sekolah atau bayar SPP. Atau si ibu yang sedang terlilit hutang. 

Saya jadi ingat sebuah kalimat bahwa " kita (manusia) adalah barisan dari kemiskinan yang sama," Kata yang saya lupa siapa penulisnya. Terangkum dalam sebuah buku yang pernah saya baca di Kabupaten Kepulauan  lima tahun silam. Kalimat yang tetiba menampar wajah dan pendirian.

Malam ini, saya lewati dengan panjang. Kantin kapal yang menyediakan makanan seadanya sering saya sambangi- walau sedikit mahal karena kena pajak kata pengelola- Sekedar mengganjal perut lewat mie instan dan sesekali minum kopi hingga kapal benar-benar berlabuh di Pelabuhan Babang, Bacan pukul lima pagi.

*

Dokpri. Penulis saat hendak naik kapal dan seorang pedagang yang menawarkan dagangan
Dokpri. Penulis saat hendak naik kapal dan seorang pedagang yang menawarkan dagangan
Tiga bulan lebih di sini, mulai Agustus hingga pertengahan November 2019. Tak terhitung berapa banyak orang-orang inspiratif yang saya temui. Orang-orang yang bertaruh di garis kemiskinan.

Di pertengahan November ini pulah, saya harus kembali ke Kota Ternate. Dan ingatan tentang kejadian di awal Agustus masih membekas. Sebab, selama perjalanan menaiki kapal laut, saya tidak senaif waktu itu. Sebuah kecerobohan yang merugikan diri sendiri karena panik.

Tak mau terulang, pukul tujuh malam saya sudah berada di pelabuhan Kupal, Bacan Selatan. Dua jam lebih awal dari jadwal keberangkatan kapal pukul sembilan. Kali ini, segala persiapan begitu matang. Walau tak bawa bekal dari rumah, saya membawa sebotol air besar.

Setelah barang bawaan saya letakan di kasur, saya putuskan turun ke dermaga. Duduk diantara para pedagang yang menjajakan makanannya dan minuman setiap kali kapal berlabuh atau berangkat. 

Saya berkenalan dengan beberapa dari mereka, mereka ibu Saida La Ode (55) dan Rakiba (17).  Ibu Saida adalah Suku Buton yang sudah lama berada di Bacan. Dan sudah menjadi penduduk lokal. Letak rumahnya tepat di depan pelabuhan dengan warung kecil di depan rumah.

Di atas jembatan ini, ibu Saida dan lainya menggelar dagangan seadanya. Hanya beralas sebuah banner bekas yang dipotong kecil berukuran tak lebih 1x1 atau kardus bekas. Barang dagangan semisal, nasi kuning, telur, air,rokok, kacang, permen dan lainya diletakan diatas banner tersebut. Selain itu, juga menggunakan keranjang. 

Setiap penumpang yang hendak ke kapal disapa dan menawarkan dagangan. Kebanyakan penumpang kata Ibu Saida, membeli rokok,nasi jaha dan nasi kuning serta air. Nasi kuning sendiri dibanderol 10 ribu perbungkus. Sementara air mineral 6 ribu perbotol kecil dan 10 ribu botol besar (1.500 liter). Sementara nasi Jaha ; makanan khas yang diolah menggunakan bambu dan dibakar,dibanderol per 6 biji 5 ribu.

Sementara untuk pendapatan tak menentu. Jika penghasilan bersih tak lebih dari 200-300. Semua makanan ini ia buat sendiri. Nasi kuning misalnya, ia produksi sebanyak 20 bungkus saja karena jika lebih tak akan laku. Sebab banyak pedagang yang berjualan yang sama.

Berbeda dengan Bu Saida, Rakiba, gadis 17 tahun yang duduk dibangku Kelas dua SMA. Ia dan tiga kawan sebayanya biasa berjualan di dalam kapal. Mereka akan berkeliling dari dek satu hingga tiga menawarkan dagangan yang mereka bawa.

Keranjang yang mereka bawa berisi macam-macam ; Nasi kuning, Jagung, permen, hingga air mineral. Dagangan itu mereka ambil dari penjual seperti bu Siada dan lainya atau di warung-warung dekat pelabuhan. Dengan keuntungan 1000-2000 rupiah per barang yang berhasil di jual.

Mereka cukup lincah dan tak malu. Paras mereka juga cukup lumayan. Cantik. Suara ayuh mereka menggelegar beradu dengan bisingnya suara orang-orang di dek kapal. Sesekali merayu agar membeli satu atau dua barang yang mereka bawa.

Kata Rakiba, ia berdagang untuk biaya sekolah. Apalagi, setelah kepergian sang ayah dan ibunya hanya seorang petani. Selain itu buat jajan di sekolah dan membantu orang tua. Ia tak malu walau kadang merasa canggung.

"Bikiapa malu k kaka, me tong bajual halal (kenapa malu kakak, kan kami jualan halal)," ungkapnya ketika saya bertanya.

Ia dan kawan-kawanya setiap malam berjualan. Dalam semalam bisa membawa pulang 30-50 ribu. Uang itu ia sebagian ia serahkan ke ibunya dan sebagian untuk ongkos ke sekolah dan jajan.

Malam itu, saya membeli dua bungkus nasi kuning, dua botol air, dan sekatong jagung berisi 3 buah. Semuanya habis disantap saat perjalanan.

*

Pedagang-pedagang seperti mereka banyak ditemui di mana saja. Di  pelabuhan-pelabuhan besar di Kota Ternate atau di Halmahera mereka mengais rejeki. Untung dan tak untung tetap dijalankan.

Bahkan setiap kali pulang kampung ke Pulau Makian. Saya juga sering menjumpai pedagang seperti mereka.

Di Pulau Moti ;salah satu pulau yang masuk wilayah administratif Kota Ternate dan menjadi tempat bersejarah tentang keputusan Maluku Utara masuk ke pangkuan Indonesia yang dikenal dengan pertemuan Moti Verboun, juga tempat dimana raja dari empat kesultanan bertemu, juga cukup unik.

Pedagang disini adalah warga lokal yang sebagian besar merupakan suku dari Tidore dan Ternate. Di mana setiap kali speed boat berlabuh karena menurunkan penumpang atau menaikan penumpang, mereka berjejer di samping jembatan dan berjualan.

Dokpri. Transaksi jual beli di Pulau Moti
Dokpri. Transaksi jual beli di Pulau Moti
Penumpang yang hendak membeli tinggal berdiri di atas speed boat atau melangkah ke dermaga. Makanan yang dijual juga hampir mirip dengan umumnya. Yang berbeda ialah jajanan disini bervariasi karena menjual kue-kue tradisonal

Misalnya, nasi jaha, lalampa; nasi disi ikan,dibungkus daun pisang lalu di kukus. Andara (makanan tradisonal suku Makian), dll.

Setelah kapal berangkat, mereka pun akan kembali ke rumah. Dan menunggu kapal lain yang datang. Nasib apes jika cuaca buruk. Sebab kapal tak bisa sandar karena pelabuhan atau jembatan semi permanen tersebut berada dikelilingi karang. Tempat ombak besar mengepung.

Di atas dermaga, setiap perjalanan saya memaknai bahwa hidup harus dijalani secara gigih dan iklas. Mereka telah menunjukan itu semua. 

Saya menyaksikan kehidupan-kehidupan mereka. pertarungan hidup yang mereka jalani. Sepeti para pedagang ikan di Tempat Pendaratan Ikan di Bacan, atau seorang nenek tua renta yang sehari-hari berkeliling naik turun kapal menawarkan tomat atau cabai hanya untuk mendapatkan sekatong ikan agar dijual kembali. Atau seorang nelayan yang kehilangan tambatan karena regulasi dari pemerintah daerah. 

Belakangan, saya mendengar dari seorang kawan, para pedagang ini, khususnya di Kota Ternate sudah ditertibkan dan tak boleh lagi naik keatas kapal dan berjualan. Mereka diarahakan berjualan jauh dari kapal. Apapun itu,mereka adalah orang-orang hebat yang mengais rejeki penuh iklas.

Jangan lupa membeli, walau hanya sebungkus nasi. *Sukur dofu-dofu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun