Menjelang sore, ketika suara bedug masjid pertama berbunyi sebagai tanda waktu Ba'da Magrib akan tiba, suara tawa anak-anak memecah kebuntuan. Sebuah sumur (parigi, Bahasa setempat) disamping rumah sudah dipenuhi oleh anak-anak yang mengantri sehabis mandi air laut (batobo).
Satu persatu bergantian menarik timba-wadah dari ember yang dirancang dan diikat tali- dari parigi dengan kedalam kurang lebih 7 meter ini. Bunyi kron beriringan dengan gelak tawa yang pecah karena kelucuan yang mereka lakukan.
Bagi anak kecil berumur sekira lima tahun, mereka harus dibantu anak yang lebih besar untuk menarik timba. Tak jarang selain mandi mereka juga membawa jerigen untuj mengisi air bersih. Setelah selesai, mereka akan pulang ke rumah masing-masing.
Pemandangan ini terjadi setiap hari. Baik pagi, siang maupun sore.Â
Selain itu, masih banyak aktivitas lainnya yang dilakukan di parigi. Di antaranya berwudhu, membuat minyak kelapa, mencuci piring jika ada hajatan-hajatan besar dll.
Dari segala bentuk kegiatan ini, ada aturan tidak tertulis yang sudah diketahui semua warga. Aturan sederhana yakni tidak boleh mandi atau menyiram tubuh dekat dengan mulut Parigi.Â
Sebab, air bekas siraman ke badan bisa memancar ke dalam. Kedua tak boleh menaruh sabun dan lain-lain di pinggiran mulut parigi karena bisa jatuh dan menyebabkan air keruh. Ketiga tak boleh dengan sengaja mengotori parigi.
Di Desa saya, Desa Mateketen, Kabupaten Halmahera Selatan terdapat 6 parigi yang digunakan oleh 300 KK. Parigi ini terletak beberapa meter dari pantai. Kurang lebih 7-10 meter dari bibir pantai. Rata-rata sudah ada lebih dari 50 tahun.Â
Letaknya di dekat pantai bukan bukan tanpa alasan. Jika di gali jauh dari bibir pantai maka kedalaman menjadi cobaan. Bisa 15-25 meter. Selain itu pembangunan dekat pantai karena, demografi desa di kepulauan tidak memiliki hamparan tanah rata yang luas.