"Kaya bisa aja. Bisa kaya harta bisa kaya Hati. Tapi cara menjadi kaya harta tak boleh begitu (Korupsi)," Kata Bu Rina di sela-sela obralan kami di warungnya.Â
Warung ini juga tempat tinggal dan usaha kos-kosan yang ia rintis. Terhitung sudah 10 tahun ia mengfungsikan rumahnya menjadi kosan. Dan sudah 20 tahun tinggal di bilangan Matraman.Â
Bukan hal baru. Di Jakarta, hampir sebagian warga yang hidup di gang-gang sempit merubah rumahnya menjadi kosan. Mencari rejeki diantara bangunan-bangunan tinggi dan tenarnya nama Jakarta.
Dua hari ini saya bertandang kesini. Menengok salah satu sanak saudara yang sakit. Dan terhitung, di warung Bu Rina, saya sudah meneguk empat gelas kopi dengan merogok kocek 12 ribu. Per gelas di bandrol tiga ribu.Â
Sembari menenguk kopi, obrolan seputar permasalahan kosan dan orang-orang yang selama ini ngekos menjadi pembuka.Â
Dari mulai anak-anak orang kaya hingga anak orang tak berada. Dari yang benar-benar ngekos hingga modus. Ia pernah sekali di rampok oleh seseorang yang bermaksud menanyakan harga kamar. Alhasil, beberapa barang digasak. Usut punya usut, oknum tersebut spesialis pembobol kosan.
Di warung berukuran 4 meter persegi ini, obrolan begitu hangat. Sembari ia memerhatikan cucunya bermain. Bu Rina sendiri memiliki 2 orang anak dan 3 orang cucu, dan tak ada satupun yang tinggal seatap. Sang suami sudah terlebih dulu di panggil sang kuasa setahun silam.
Selain mengurus cucu, ia melayani para pelanggan yang membeli makanan sekaligus mengontrol anak-anak kosan. Warung ini terbilang penyelamat apalagi di saat covid saat ini. Walaupun selama dua puluh tahun ini tak pernah dapat bantuan.Â
"Sekarang ada ya bantuan buat usaha. Tapi saya tak pernah dapat tu. Sudah ngajuin sana sini," Ujarnya
Bantuan UKM juga ia sentil, tentang bagaimana cara penyaluran. Bahkan tak segan ia mengkritisi setiap bagian dari alur penyaluran yang menurutnya syarat korupsi.Â
"Saya heran juga menjadi kaya dengan cara-cara yang tak halal. Semua orang pasti menginginkan menjadi kaya, tapi jangan sampai memakai cara-cara yang tak halal. Harusnya itu terdistrubsi hingga ke level bawah agar ada penyemarataan sosial," ujarnya.
Ia pun menyentik bagaimana bentuk praktek korupsi, kebebasan berpendapat yang saat ini riskan. Dimana kata ia, ngomong sedikit masuk bui hingga penguasaan sumber daya alam yang itu-itu saja.
"Negara kita sangat kaya, namun lewat kekayaan itu lahir kelas kaya yang itu-itu saja. Pernah tidak kita berpikir kenapa setiap rilis Forbes, orang-orang kaya baru (OKB) jarang muncul? bahkan terkesan hanya perebutan peringkat. Siapa yang menggeser siapa di urutan 1 dan peringkat 10 besar," Ungkapnya ibu berusia kepala enam puluh ini yang membuat saya hampir memuntahkan tegukan kopi kapal api yang ia seduh tiga puluh menit lalu.
"Benar juga sih bu, saya baru memikirkan ini," ungkapku mencoba menganalisis.
Pernyataan yang ia berikan memberikan saya pandangan untuk menganalisis. Dan memang ada benarnya, beberapa tahun belakangan orang-orang yang tampil terus menerus di majalah Forbes adalah sosok itu-itu saja.
Hal ini mengisyaratkan bahwa penguasan sumber ekonomi yang selama ini di kelola, di eksploitasi hanya di pegang oleh beberapa orang. Nilai kekayaan pun tak main-main, yang di tunjukan dengan terus bertambahnya nilai absolut dari kekayaan setiap konglomerat.
Dalam berbagai forum diskusi, terkadang ada stikma bahwa Forbes mendapat "untung" dari setiap rilis. Selain itu, ada kelompok-kelompok dapat mempengaruhi keputusan riset tersebut. Yang pada prinsipnya, segala bentuk intervensi tersebut untuk menopang kekuatan agar tetap berada pada jajaran teratas.
Artinya, agar menunjukan hegemoni "sumber daya" dari setiap kelompok sebagai nilai tawar dalam dunia bisnis. Walaupun, pada prinsipnya itu semua butuh riset mendalam untuk membuktikan itu semua.
Fakta ini menujukan bahwa pemerataan sosial di Indonesia bak langit dan bumi. Padahal, kata Bu Rani harusnya ada penyamarataan dalam mengelola. Atau tidak negara bisa menjamin terlaksananya distrubusi yang adil. Ke pemodal besar hingga masyarakat kecil. "Prinsip-prinsip keadilan harus di junjung," Ujarnya.
Bagi saya hegemoni ini adalah wajah dunia bisnis di Indonesia. Apalagi jika penerapan kemudahan investasi mulai di jalankan. Investasi yang bebas akan memberikan keleluasaan bagi pemodal untuk menanamkan modal seluas-luasnya.Â
Artinya akan ada penambahan pendapatan bagi investor dan menciptakan jurang kesejateraan yang lebih tinggi.Walaupun, ada efek persaingan yang terjadi dalam dunia bisnis kedepan.
Tentunya, obrolan dengan Bu Rani di warung yang sederhana memberikan pengetahuan yang begitu luas. Permasalahan ekonomi, politik dan sosial di Indonesia di utarakan secara gamblang seusia beliau. Bahkan, perkara hutang Indonesia yang triliun lebih ia sentil.Â
Baginya, ini dosa pemimpin yang harus di tanggung 260 juta rakyat Indonesia. Bahkan oleh cucunya yang berusia tiga tahun.
Di akhir obrolan ia berpesan agar menjadi kaya yang bermartabat. Menjadi kaya dengan cara-cara halal. Sebab, bangsa ini butuh orang pintar dan baik. Orang pintar yang seringkali tidak tepakai di Indonesia.
"Kedepan generasi kalian yang bertanggung jawab atas beban perbuatan negara. Jika kalian tak mampu memecahkan solusinya maka hanya akan ada kerusakan-kerusakan. Kalau saya, sudah tua jadi tugas saya menasehati kalian.," Ujarnya.
Tentunya nasehat beliau sungguh bermakna Pengetahuan beliau tentang dinamika Indonesia yang luas memberikan saya pengalaman pengetahuan yang baru, segar. Tentu ini mendorong pribadi agar lebih peka pada perubahan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia.Â
Sebelum berpamitan, ia menyelipkan agar saya cepat nikah dengan tips-tips memilih pacar. Wiuh...ini juga pengetahuan pikirku. wkwkw..Sukur dofu-dofu (terima kasih)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H