Hal ini karena mindset dà n budaya yang tertanam sejak lama. Ketergantungan tinggi terhadap minyak tanah menyebabkan sering terjadi kelangkaan. Apalagi jika dilakukan penimbunan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab.Â
Selain itu, dari segi pengeluaran. Minyak tanah lebih dominan. Bayangkan saat ini harga dasar minyak tanah non subsidi sebesar 11.770 (Pertamina). Dengan asumsi tidak terjadi kenaikan di pihak pengecer maka jika dalam sebulan dapat dikonsumsi sebesar 25 liter maka biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 294 ribu. Tentu dalam sebulan bisa dilakukan pembelian sebanyak 2-3 kali.Â
Sementara minyak subsidi dibanderol dengan harga 5000-5500 rupiah. Yang unik ialah, volume minyak tanah bersubsidi dihitung berdasarkan jumlah anggota keluarga. Satu orang, lima liter. Jika dalam satu keluarga terdapat 5 anak maka jatah ia dalam keluarga ialah 25 liter.Â
Data-data tersebut sudah dimiliki oleh pihak kelurahan dan penyalur. Untuk mengambil minyak tanah saat penyaluran diwajibkan membawa kartu khusus yang bakal ditandatangani.
Dalam penyalurannya kadang tidak sesuai. Keluarga-keluarga kategori mampu tak jarang ikut mendapat jatah.
**
Kitorang (Kami) dan minyak tanah
Dalam sebulan sekali, ibu-ibu sudah resah karena stok minyak tanah di dapur menipis. Jeriken-jeriken tampak kosong tersebut sudah saatnya memiliki isi.Â
Pada awal bulan atau mendekati pertengahan, mereka biasanya sudah mengingatkan para anak-anak agar mendengarkan informasi penyaluran minyak tanah. Jika tidak, sudah pasti jatah bulan ini tak diterima.Â
Beruntungnya setiap kali ada informasi penyaluran dari kelurahan, masyarakat selalu menyampaikan secara door to door dan dari mulut ke mulut dengan sukarela. Bahkan tak jarang saling membantu mengambil minyak tanah si tuan rumah jika anak-anak mereka sedang tidak berada di tempat.
Pengumuman biasa dilakukan pagi hari. Kadang disampaikan ke Ketua RT atau dikumandangkan di toa masjid. Jika sudah begitu, jangan sekali-kali membuat agenda. Anak-anak harus stay kalau tak mau kena marah.