Delapan pria berbadan tegap mengayungkan martil-martilnya ke dinding dan semua sela rumah baca. Mereka mengklaim bahwa kedudukan rumah baca itu berdiri diatas tanah mereka. Tanah leluhur yang menjadi hak dan kewajiban keluarga mereka.
Asal usul tanah ini disengketakan ketika rumah baca berjalan 1 tahun lamanya. Padahal menurut keluarga lain, tanah itu bisa dipakai oleh semua garis keturunan si empu. Termaksud si Arman, sang founder rumah baca.
" Lokasi itu berdasarkan silsilah, saya juga bisa menggunakan. Tapi karena keserakahan klaim sepihak terjadi,".
Berbagai upaya rekonsiliasi agar rumah baca tersebut tidak di bongkar dan di pindahkan ke lokasi lain pun berjalan buntuh. Pemerintah  desa juga tak bisa berbuat banyak. Semua diserahkan ke penegak hukum.
" Kita ambil hikmanya. Bahwa membangun sesuatu yang baik selalu ada tantangan," Ujar sang founder.
Alhasil, tak ada lagi fisik dan aktivitas pengembangan literasi yang berjalan. Namun jiwa membangun literasi selalu hidup.Â
***
NB. Arman Panigfat sang founder sedang berupaya membawa kasus pembongkaran ini ke ranah hukum. Ia berharap ada efek jera dan pelajaran bagi semua pihak. Selain itu,masalah ini juga diharapkan menjadi perhatian pemeritah daerah Kepulauan Sula agar memprioritaskan pendidikan utamanya di wilayah pedalaman dan pesisir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H