Minggu pagi di sebuah Apartemen bilangan Cawang, saya terbangun karena suara anak-anak kecil yang menggelegar menembus kedalam ruang 3x4 meter persegi.
Gelak tawa riang sekira pukul 10 ini  beradu satu dengan yang lain. Saya bangun dan mengintip sejenak, oalah ternyata kolam renang sedang ramai di akhir pekan kali ini. Maklum, posisi kamar tepat di depan kolam dan sengaja pintu tak di kunci karena gempùran AC yang membuat sekujur tubuh mengigil.
Sekira pukul 11.00 saya putuskan melanjutkan tidur yang sempat terpotong dan siuman pada pukul 17.35.
Saat bangun dan mengengok ke kolam, ternyata suasana masih ramai dan riuh. Lebih ramai dari pagi tadi. Banyak anak-anak di temani orang tua memenuhi kolam renang yang saya sendiri tak tau berapa ukurannya.Â
![Dokpri. Suasana Kolam Renang](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/08/10/20200809-172733-5f304d7e097f36128b507e82.jpg?t=o&v=770)
Padahal, minggu sebelumnya tak ada riuh dan gelak tawa seperti ini. Kolam ini cenderung aman dari gempuran anak-anak. Yang ada, Â hanya pasangan muda mudi atau beberapa ibu-ibu yang setiap pagi berolahraga.
Bagi saya sendiri, situasi ini sangat klimaks. Di tengah situasi pandemik ini apakah tidak masalah? tetapi saya tidak tertarik membahas ini. Sebab, protokol dari pihak pengelola sangat ketat. Di mana security siap aktif memperingatkan dan memantau jika jarak interaksi terlalu berdekatan.Â
Salah satu yang menjadi perhatian beberapa tahun ini ialah terbatasnya dunia bermain bagi anak-anak perkotaan. Selain  ruang hijau yang sempit karena kebijakan pembangunan juga karena kehidupan di Kota yang syarat akan kekerasan sehingga anak-anak tidak bebas berlenggang manis keluar rumah.
Ruang hijau yang diperuntukan buat publik berdasarkan catatan Walhi yang dikutip dari Medcom.id  hanya sekitar 9,98 persen lahan di Jakarta yang dijadikan RTH. Dari yang seharusnya dijadikan RTH yakni 30 persen yang sudah  diatur sejak 2007 melalui Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Di apartemen misalnya, saya sering bahkan keseringan melihat anak-anak tak memiliki ruang bermain. Padahal, setiap pembangunan apartemen atau hunian jenis apapun itu perlu ada Ruang Terbuka Hijau.Â
Di setiap apartemen yang pernah di tinggali fenomena ini selalu tersaji. Anak-anak hanya bermain pada ruang terbuka seadanya yang di ruang itu pulah di jadikan sebagai tempat nongrong, makan dl.Â
Permainan yang di mainkan pun tak beragam, alias tak punya bahan untuk di mainkan. Selain itu lingkungan apartemen, yang bagi saya sendiri merupakan lingkunganya para orang dewasa yang tak sesuai dengan lingkungan tumbuh kembang anak. Perlu ada penelitian mendalam tentang ini.
Alhasil, pergeseran dunia main yang pada semula melibatkan interaksi sosial berubah ke individu dan kelompoknya masing-masing. Apalagi, ditengah geliatnya perkembangan game Moba dan kemudahan penggunaan gadget yang menghawatirkan, berdampak nyata pada perilaku mereka.Â
Perilaku tersebut terkonstruk nyata yang kadang menurut saya dapat mengabaikan fakta sosial dilingkungannya.
Berbeda halnya dengan anak-anak yang berada di desa. Dimana berbagai alternatif permainan masih dapat dimainkan. Walaupun, 5 tahun belakangan mulai terjadi pergeseran karena gempuran teknologi.
![Dokpri. Bermain Sepakbola](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/08/10/dsc-0874-jpg-5f312b16d541df6df07d1152.jpg?t=o&v=770)
![Dokpri . Bermain Perahu dari Kayu](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/08/10/dsc-0308-jpg-5f312b46d541df5651017ce2.jpg?t=o&v=770)
Tak ada batasan yang berlebihan atau kekhawatiran para orang tua pada anak-anaknya yang bermain bebas di desa. Tak jarang saya menemukan mereka bisa puas bermain dari pagi hingga sore. Jika lapar mereka akan pulang atau makan di rumah keluarga kemudian lanjut bermain hingga sore kemudian pulang, mandi, sholat, ngaji, belajar dan tidur.
Selain di dalam kampung, mereka juga tak jarang bereksperimen di hutan. Membuat jerat, bermain perang-perangan karena inspirasi dari film yang mereka tonton bahkan mengikuti orang dewasa mengungut (punggu) buah pala dan kenari yang jatuh.
Buah-buah ini akan di serahkan ke orang tua mereka sebagai tabungan. (Akan dibahas pada artikel Memungut Pala, Cara menabung anak kecil)
Alhasil, jiwa sosial dan menjunjung tinggi adab menjadi landasan mereka sedari kecil. Dunia main yang masih luas juga membentuk ikatan batin antar sesama dan ikatan kerjasama yang luar biasa. Karakter-karakter yang terbentuk ialah karakter kuat tapi bebas.
![Dokpri.Bermain Pasir](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/08/10/dsc-0653-jpg-5f312d13097f3677a93fbef4.jpg?t=o&v=770)
![Dokpri. Anak-anak sehabis berburu kerang](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/08/10/img20180628144449-5f312d44097f360448771d12.jpg?t=o&v=770)
Satu hal yang menjadi kendala pada dunia main pedesaan ialah gempuran teknologi seperti yang di sentil di atas. Dimana, kebanyakan dari mereka sudah mulai tertarik pada gadget, youtube dan media-media lain.
Anak-anak sekolah yang masih duduk di Bangku SD sekira kelas 5-6 sudah mempunyai gadged sendiri. Sehingga setiap malam berselancar dan terpaku di layat handpone. Ini saya temukan hampir di setiap saya melakukan perjalanan ke desa-desa dan menetap 1-2 bulan.
Perkembangan jaman memang tak bisa dipungkiri. Perlu adaptasi-adaptasi yang relevan. Akan tetapi, dunia mainnya para anak-anak harus juga ikut terjamin. Terutama di perkotaan yang sudah hilang sama sekali. Baik dari segi lingkungan, keamanan, keluarga dan lingkungan verbal lainnya.
Hal ini guna pembentukan karakter diri pada anak yang ditumbuhkan secara kecil dan tidak menjadi generasi instan atau generasi yang hanya menerima. Terima Kasih (*)