Akhir pekan bagi sebagian orang dapat dimanfaatkan dengan berbagai kegiatan. Dari bersih-bersih rumah, rebahan seharian, tamasya, memancing, dan berkebun.
Yap, agenda yang padat selama di Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara mengharuskan saya untuk tidak menemui dulu para narasumber; nelayan.
Niatnya ingin rebahan seharian. Tetapi, niatan itu sirna ketika diajak ayah angkat; bapak piara orang sini menyebutnya, ke kebun beliau menengok cengkih dan pala yang sudah lama tak terurus karena kesibukan beliau sebagai Kepala desa.
Saya antusias, sebab saya juga seorang petani yang rindu berkebun setelah sekian lama menikmati macetnya jalanan Kota Jakarta dan Bogor. Apalagi, sudah sering ku pesan agar diajak saat ke kebun.
Kami bertolak dari Kampung Makian, Yap seperti pada tulisan-tulisan sebelumnya dimana suku ini mendiami hampir seluruh daratan Pulau Halmahera. Salah satu suku terbesar di Malut.
Tujuan kami ialah Desa Papaloang. Desa yang tak jauh dari Kampung Makian. Menggunakan dua motor, saya, papa piara dan anaknya melaju. Tak kurang dari 30 menit kami sampai.
Di Kebun ini, kami beraktivitas. Memetik pala dan membersihkan rumput yang melilit batang pohon pala dan cengkih. Umur tanaman menurut penuturan papa piara ialah 5-10 tahun dan dijaga oleh keponakannya.
Selama di kebun, saya terpaku pada satu komoditas, Kopi. Kata papa piara kopi ini ialah kopi yang memiliki akar sejarah dan punya nilai historis di mana konon katanya Ratu Jualiana tidak akan meminum kopi jika bukan Kopi Ini.
Saya pun memanjat untuk mengambil sampel. Sebab, kata masyarakat, kopi ini sudah langkah karena sudah tak dibudidayakan. Takut punah seperti Jeruk Sabalaka di Tidore (Baca: Topo dan komoditas yang punah), saya kemudian memetik hampir 200 biji untuk disemai dan dijadikan bahan pembahasan dan rujukan.
Sedang asik sendiri dengan memetik kopi, papa piara saya menghampiri dan berkata;