Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Dilema Pekerja Pers Jelang Pilkada 2020

1 Agustus 2020   15:30 Diperbarui: 1 Agustus 2020   20:45 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bang, beritanya jangan di-Up dulu ya, soalnya bisa merugikan kita. Saya lagi komunikasi dengan kandidat, untuk iklan politik nanti". Begitulah isi chat yang masuk beberapa hari lalu di kirim lewat screnshoot oleh salah satu wartawan. 

Alhasil, setelah melewati diskusi panjang dengan dewan redaksi, diputuskan meng-take down berita tersebut. Berita itu memuat dugaan korupsi salah satu kandidat bakal calon kepala daerah beberapa tahun silam. 

Pekerja kulit tinta dituntut untuk profesional dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Kode ini mengikat kuat sebagai payung hukum seorang wartawan melakukan peliputan, investigasi, hingga berita ditayangkan. 

Namun apakah benar baik jurnalis, wartawan dan media pers benar-benar menjunjung tinggi independensi dan kode etik? Sebagian memang benar demikian, tetapi menurut saya masih banyak media di luar sana yang tak independen. 

Apalagi, saat ini orientasi utama ialah profit. Bagi saya tak salah media pers berorientasi profit. Sebab, operasional, gaji wartawan dan pembiayayan lain perlu dilakukan agar tetap eksis. Perusahaan pers harus mampu mencari sumber pemasukan baik dari kontrak kerja, iklan, maupun kerja sama baik pemerintah dan swasta dan sumber lainnya.

Walaupun berorientasi profit, akan tetapi sikap independen perlu dijunjung tinggi. Maka, tulisan ini tidak akan mengungkapkan mana media pers independen mana media pers tidak independen, mana jurnalis independen dan mana yang tidak independen. Secara sikap, tulisan ini mengulas secara subjektif dan mengabaikan objektif. 

Sebagai pekerja kulit tinta, profesi yang satu ini merupakan profesi bergengsi menurut saya. Selain dapat menambah pengetahuan kognitif, juga dapat dikenal orang lewat berita-berita yang kita publish. 

Kualitas sebuah berita akan mencerminkan siapa yang menulisnya. Namun tak sedikit pula yang menjadikan profesi ini dengan maksud dan tujuan yang lain.

Banyak pejabat yang saya kenal merupakan eks pekerja pers dan pendiri media cetak maupun online. Petuah yang mereka berikan sederhana, berprofesi sebagai pekerja kulit tinta adalah pintu kesuksesan menuju langkah berikut.

Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai wartawan saat menempuh pendikan di perguruan tinggi dan lulus kuliah. Ada beberapa tujuan yang saya simpulkan, di mana seseorang mau menjadi wartawan karena 3 hal, yakni wartawan sebagai karir profesional, mengisi waktu, dan alat untuk memuluskan kepentingan dan batu loncatan.

Seseorang yang memilih pekerjaan kulit tinta sebagai karir, sudah barang tentu menjadikan profesi ini sebagai jalan hidup. Ia akan menapaki karirnya secara profesional dan menjunjungn tinggi kode etik sebagai wartawan.

Sementara, mereka yang memilih profesi ini sebagai pengisi waktu, tentu saja tidak benar-benar serius menjalani wartawan sebagai jalan hidup. Sikap mereka pun terkadang hanya ikut-ikutan.

Dan, ketiga yakni profesi pekerja pers sebagai batu loncatan dan senjata. Kenapa senjata? Karena tak jarang serangan-serangan kepada narasumber digunakan untuk kepentingan semata. 

Seperti kasus seorang wartawan di daerah yang juga menduduki jabatan salah satu LSM melakukan pemerasan terhadap Kepala Puskesmas dengan nilai Rp 50 juta. Kasus ini sendiri terkuak setelah Kapus melaporkan pemerasan tersebut kepada pihak kepolisian dan berakhir dengan masuknya si wartawan ke bui.

Kasus ini adalah kasus yang muncuk ke publik. Banyak kasus yang tidak muncul ke publik akibat tidak profesionalnya wartawan yang sudah diatur dalam kode etik jurnalistik dan narasumber juga tidak berani melaporkan kasus seperti pemerasan dan sebagainya ke pihak yang berwajib, baik polisi maupun dewan pers.

Di lapangan, hubungan emosional wartawan dengan narasumber kadang menjadi sebuah dilema. Idelalisme sebagai benteng juga kadang tak berguna. Sebab, jika ia profesional dan idealis, maka sudah barang tentu ia tak segan-segan menuliskan hasil peliputannya, tetapi jika tidak, maka tentu saja diam adalah solusi.

Terkotak-kotaknya dunia wartawan terutama di lapangan menyebabkan hal ini menjadi rumit dan tak jarang sering terjadi konflik serta saling serang. 

Kelompok yang paling tersiksa ialah mereka yang memilih idealis, di mana tuntutan profesionalisme dijunjung tinggi. Kelompok ini seringkali diserang manakalah artikel-artikel yang mereka tulis merugikan kolega wartawan lain. Alhasil perang gagasan dan pembelaan sering dilakukan.

Selain kelompok idealis, ada juga kelompok yang menurut saya tak profesional. Kelompok ini seperti disinggung di atas memiliki hubungan emosional kuat dengan narasumber. Tak jarang, kasus-kasus yang menjerat si narasumber ditepis dengan berita-berita pencitraan.

Selain hubungan emosional, sikap-sikap seperti menyerang narasumber lain juga dilakukan. Saya menemukàn banyak kasus, oknum-oknum wartawan bekerja sama dengan LSM menyerang narasumber. Apalagi narasumber itu benar-benar bermasalah dan setelah kong kali kong, masalah itu akan diredam serta laporan akan dicabut.

Bisa disimpulkan bahwa masih banyak oknum yang berprofesi sebagai pekerja pers dengan gampang dipolitisasi, dan mencari keuntungan di balik tugas mereka. 

Tantangan Jelang Pilkada
Saya pernah melakukan peliputan di Mahkamah Konsitusi pada 2018 Silam. Ada 4 wartawan media lokal, baik cetak maupun online yang turut hadir meliput hasil putusan pemenang sengketa Pilkada oleh MK. 

Dari hasil peliputan, hanya saya dan salah satu wartawan yang mengirim hasil liputan untuk di-Up. Dan 2 wartawan lain dari media berbeda tidak menulis artikel hasil putusan tersebut.

Usut punya usut, oknum wartawan tersebut juga berprofesi sebagai tim suskes pasangan yang kalah dan media mereka bekerja juga pendukung utama si kandidat yang kalah.

Contoh di atas hanyalah secuil wajah keterlibatan media dan oknum wartawan pada momentum politik. Lantas bagaimana posisi menjelang pilkada nanti?

Saat ini, sikap keberpihakan sudah mulai terlihat. Beberapa bulan ini, saya disuguhkan dengan postingan-postingan oknum wartawan di beranda Facebook yang nyata-nyata memunculkan, menampilkan, membela, mengikrarkan kandidat pilihannya.

Di Beranda-beranda grup, juga ditemukan saling adu argumen yang tidak mencerminkan diri sebagai wartawan. Pembelaan dan penghujatan terpampang nyata. Tak jarang hasil adu argumen ini berujung di kantor polisi karena pencemaran nama baik.

Keberpihakan, bahkan menjadi tim sukses adalah kegagalan sistem, di mana peran perusahaan pers sangat dituntut. Pers sebagai arus utama informasi harus terframing dengan kepentingan politis atau kepentingan media sendiri. Hal ini Menyebabkan arus utama informasi ini menjadi timpang.

Pada sisi perusahaan pers, tak jarang lobi-lobi politik dilakukan. Iklan kampanye menjadi sasaran utama. Yap, walaupun ini tidak menyalahi prosedur kampanye nanti. Sebab ada aturan melakukan kampanye melalui daring.

Akan tetapi, kondisi ini juga menunjukan kondisi informasi berat sebelah. Hal ini bukan semata-mata terkaan, sebab selama ini yang didapati ialah kontrak antara media dan para kandidat menyebabkan berita-berita d lemparkan ke publik menujukan keberpihakan.

Padahal yang semestinya perlu dilakukan adalah kemerdekaan masyarakat dalam meñerima informasi dan kesamarataan informasi pada pilkada mendatang. Hal ini perlu dilakukan lantaran, kebanyak konflik akibat dari perang adu gagasan yang dimuat di media yang saling berpihak.

Media dan jurnalis, wartawan tidak dirugikan dari satu sisi selain reputasi, tetapi masyarakat dirugikan segala-galanya.

Independensi pada pilkada adalah catatan kritis bagi penulis sendiri maupun pekerja tinta kulit. Catatan kritis ini karena selama ini keberpihakan baik pers maupun wartawan secara terang-terangan ditunjukan.

Keberpihakan dan independen ialah jalur sistem. Artinya, tak sepenuhnya disalahkan kepada jurnalis maupun wartawan karena tindakan yang dilakukan disebabkan oleh sistem perusahaan pers yang tekontaminasi pada kepentingan politis. Bisa dibilang perusahaan tidak memiliki sistem dan posisi yang ketat.

Olehnya itu, pada momentum pilkada 2020 mendatang dilematis informasi merupakan tanggung jawab yang tak ringan. Media maupun wartawan harus memilih sikap yang independen agar masyarakat sebagai penerima informasi dapat mengkonsumsi berita-berita yang sehat. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun