Setiap kali kembali ke Kampung, saya punya kebiasaan. Ngopi di pantai, mancing serta berburu gurita, ikan, da kerang.
Tak ada yang lebih nikmat dari itu. Jika sorenya mancing atau menikmati senja maka malamnya kami berburu. Mungkin karena lahir dan dibesarkan di pesisir hingga sesuatu yang berbau pesisir selalu menjadi perhatian.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Pengakuan itu dimantapkan lewat dari UNCLOS 1982, yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No.17 Tahun 1985.
Berdasarkan UNCLOS 1982, total luas wilayah laut Indonesia seluas 5,9 juta km2, terdiri atas 3,2 juta km2 perairan teritorial dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif, luas tersebut belum termasuk landas kontinen. Tercatat hampir 16.056 pulau di Indonesia dengan sekitar 60 juta jiwa penduduk hidup di radius 50 KM dari garis pantai (KKP 2017).
Mata pencaharian masyarakat pesisir ialah adalah nelayan. Tentu saja, namun tidak semerta-merta mereka semua adalah nelayan. Melainkan juga bekerja sebagai petani. Di daerah saya, Maluku Utara, banyak dari mereka yang juga berprofesi sebagai petani kelapa, cengkih dan pala.
Profesi nelayan sendiri dilakukan secara sambilan. Namun, di wilayah-wilayah produksi seperti Ternate, Tidore, Maitara, Halmahera Selatan, Jailolo dan Morotai ada sebagian yang bekerja full sebagai nelatan.
Ketertarikan saya pada masyarakat pesisir telah membawa saya terlibat dalam berbagai kegiatan dan perjalanan. Hal yang saya sukai ialah kehidupan orang-orang nya, kehidupannya.Â
Saking tertariknya, banyak kejadian-kejadian yang tercipta. Misalnya, setelah lulus SMA, saya mendaftarkan diri ke Perguruan Tinggi dan memilih jurusan Perikanan dan Kelautan. Namun karena latar belakang saya dari IPS hal itu menjadi tak mungkin.
Lewat perdebatan panjang karena ngotot ingin tetap di jurusan ini, sebelum akhirnya mengalah dan memilih jurusan ekonomi. Namun, bukan berarti tak ikhlas. Lewat jurusan ini banyak hal yang justru dapat dikembangkan dari sisi kesejateraan.Â
Kajian-kajiannya menjadi luas dan beberapa kegiatan sebagai track record pernah dilakukan saat mahasiswa. Misalnya, saat berhasil melakukan Bina Desa Pertama kali dan menjadi patokan dan kewajiban bagi semua fakultas 2 tahun berikutnya. Program yang akhirnya dimasukan ke Dipa.Â
Atau mengadvokasi beberapa nelayan di Halmahera Selatan yang kehilangan tempat labuh karena kebijakan pembangunan demi mengejar kegiatan nasional yang dipusatkan di daerah tersebut, serta mengadvokasi pelarangan pemakaian pukat harimau di Kabupaten Sanana.
Setiap kali ada kesempatan saya selalu menyusun agenda-agenda plesiran ke masyarakat pesisir, memancing atau camping; Akan dibahas pada artikel selanjutnya.
Saat plesiran saya sering membawa 3 orang yang salah satunya adalah penulis di K dengan nama akun Faisal Yamin, sementara dua orang lainnya adalah junior saya yang selau mengemas sesuatu dengan konsep video, selain untuk memberikan edukasi di lapangan juga mengajak untuk melakukan advokasi.Â
Beberapa perjalanan sudah berhasil kami dokumentasikan dalam bentuk video, artikel dan berita. Misalnya saat melakukan branding produk bawang goreng di Kabupaten Halmahera Timur, advokasi komoditas yang hampir punah dan yang terbaru pembuatan video potret potensi di Pulau Maitara.
Mayoritas penduduk pulau berpenghuni adalah nelayan. Suplai ikan baik demersal maupun pelagis di Kota Ternate sebagai pusat perdagangan berasal dari pulau ini. Namun, tingkat kesejateraan yang di ukur lewar NTP belum terbilang baik.
Kehidupan sosial yang belum banyak terekspos membuat kami melakukan plesiran ini. Dari Kota Ternate kami berangkat menggunakan kapal kayu. Hanya butuh wakti 20 menit untuk menyebrang.
Setelah pembuatan video tersebut dan di posting ke Instagram,Facebook dan Media online yang saya kelola. Berbagai tanggapan positif muncul. Salah satunya ialah ketertatikan perguruan tinggi melakukan kegiatan branding produk dan pemberdayaan berkelanjutan.
Apa yang di dapatkan secara pribadi? Yang pertama ialah pelajaran hidup tentang kesederhanaan. Yap, setiap perjalanan saya selalu menemukan kesederhanaan.Â
Sikap kesederhanaan ini selalu ditunjukan saat mereka menjamu dan mengobrol lepas. Banyak unek-unek disampaikan tetapi tidak sampai memaki atau mencela. Gaya bahasa mereka santun dan penuh etika.
Saya terkadang menerima petuah-petuah, tentang hidup yang paling sering serta cerita-cerita yang jarang di temukan di buku. Kesederhanaan, tenggang rasa, gotong royong, religius, adat istiadat adalah beberapa dinamika yang membalut erat pada kehidupan masyarakat pesisir.Â
Setiap kali ke desa yang hidup di pesisir saya selalu merasa begitu tenang dan segar. Selain segar ide, rasa penasaran juga bakalan terobati.Â
Penatnya aktivitas perkotaan dengan segala bentuk kegiatan yang dijalani secara tidak langsung mempengaruhi psik pada diri. Beban kerja dan lingkungan yang tak ada habisnya.Â
Sehingga, setiap kali menemui mereka rasa-rasanya semua bagian diri terutama pikiran yang menangung paling berat terasa plong. Bayangkan saja, makan ikan segar, ngopi dibelakang pantai, melihat anak-anak mandi dan mancing, nelayan-nelayan yang membenarkan perahu dan jala, ibu-ibu yang mengebulkan tungku masak, dll tidak pernah didapatkan di kota.
Tujuan pelesiran baik ke pelosok desa bahkan pesisir ialah advokasi. Yap, hal ini bagian dari tanggung jawab diri dan tantangan agar kebijakan tak salah kaprah. Sebab selama ini, terlalu banyak euforia kemegahan tentang kekayaan laut dan pesisir yang di degungkan oleh mereka di atas sana. Dan lupa bahwa ada yang mati di bawah sana karena kebijakan yang tak pro kesejateraan. Terima Kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H