"Bang maaf tanya, abang dari mana? Tanya si kang Ojol. " Saya dari Timur, Maluku Utara bang" Sahutku di belakang sambil menghela napas bakalan menjelaskan lebih jauh tentang tentang pertanyaan ini.
"Ambon ya?" Sahutnya. "Bukan bang, beda lagi. Dulu iya masih masuk Ambon, sekarang sudah provinsi sendiri sejak tahun 2000. Ambon Provinsi sendiri dan Maluku Utara sendiri," Jawabku sambil memperhatikan kaca spion apakah ia memahami penjelasanku.
"Oh beda ya.  Kalau Jhon Kei dari mana? Tanya nya penasaran. " Kalau John Kei tu dari  Maluku mas. Beda lagi sama daerah saya
"Berarti satu daratan sama NTT ya?," Tanya kemudian. " Aduh mas kejauhan itu, beda provinsi lagi itu mas?". Entah apa yang harus di jawab. Seandainya ada Peta bakal langsung ku tunjukan.
"Saya kalau liat orang timur segan bang. Maap ya sekali lagi maaf, takut kena tabok aja sama mereka," Ungkapnya.
"Oalah mas, kebanyakan nonton berita ni pasti,". Tanyaku. " Yah kebanyakan sih ga gitu. Mungkin karena suaranya keras-keras jadi agak takut," Jawabnya.
" Ni ya ta kasih tau rahasianya. Kalau suara orang timur keras karena kultur dan demografi kami ialah kepulauan dan pesisir. Bayangin aja kalau manggilnya pelan gak bakalan kedengaran. Makanya tak perlu heran kalau kami ngobrolnya keras. Sebenernya itu ngobrol yang normal loh mas. Ga teriak-teriak," Jawabku
" Oh gitu ya bang,"? Sahutnya. " iya mas, kalau suaranya keras itu tanda kasih sayang kalau rendah itu wajib wasapada bisa saja emosi," Candaku padanya
Situasi ini sudah tak tabuh lagi bagi saya bahkan beberapa mahasiswa yang memilih kuliah di Pulau Jawa atau sebutan tenar kami dari Malut ialah tanah rata. Pertanyaan-pertanyaan ini sudah sering saya jelaskan panjang lebar kepada siapapun yang bertanya.Â
Tetapi anehnya, banyak yang belum bisa membedakan wilayah di timur,  baik demografi, kultur, adat dan budaya. Sudah begitu, banyak stigma-stigma seperti hitam,jahat, suka tawuran, tukang onar, suka mabuk, dll selalu menjadi bagian terdepan dalam  minsed kebanyakan orang.
Pada tahun 2016 pada 11 Maret, saya menginjakan kaki di Jakarta dan menuju Kota Bogor guna kepentingan pendidikan. Saat pertama ke Bogor, saya se-kosan dengan salah satu sahabat dari Papua bernama Agus. Seorang mahasiswa yang kuliah sambil kerja menjaga kosan. Putra asli papua ini, akhirnya bisa lulus pada salah satu kampus di Jakarta dengan predikat Sangat Memuaskan.Â