Di era pandemik Covid-19 saat ini segala aktivitas dilakukan secara daring; work for home. Begitu juga dengan dunia pendidikan yang mengaharuskan semua lembaga pendidikan dari junior hingga perguruan tinggi untuk melaksanakan pembelajaran jarak jauh. Walaupun belakangan, sistem tatap muka mulai di berlalukan oleh Menteri Pendidikan.
Kondisi ini tentu menyebabkan permasalahan-permasalahan terutama di dunia pendidikan yakni, tingginya biaya paket internet, kendala teknologi di daerah tertinggal, tidak efektifnya pembelajaran jarak jauh, biaya UKT yang dipertanyakan dan sistem pengambilan data lapang atau primer ke data sekunder yang membuat mahasiswa harus memulai penyusunan naskah dari awal.Â
Kondisi ketidakpastian kapan berakhirnya masa pandemik yang hingga kini tak menunjukan tanda-tanda berakhir, maka aktivitas perkuliahan Tahun Ajaran Baru 2020 ini juga masih akan terus diterapkan secara daring. Salah satunya ialah wisuda.
Beberapa bulan belakangan, banyak para mahasiswa yang sudah membayar hutangnya ke kampus terkurung dalam kegalauan. Termaksud kawan-kawan saya sendiri yang sering berkirim pesan. Mereka, yang seharusnya wisuda pada bulan Juni kemarin harus di undur pada bulan Agustus 2020 karena tidak dapat melakukan proses wisuda secara tatap muka.
Mereka juga dihadapkan pada pilihan, memilih ikut seminar daring atau seminar tatap muka. Aplikasi yang sudah disiapkan mengharuskan mereka mau tidak mau harus memilih. Jika daring, maka proses dan mekanismenya akan disampaikan kemudian. Sementara bagi yang memilih tatap muka maka harus menunggu jadwal yang akan di tentukan oleh pihak Universitas dengan waktu yang tidak di tentukan.
Salah satu kawan saya yang memilih wisuda tatap muka mengungkapkan bahwa ia, memilih tidak ikut Daring karena dapat menguras paket, tak dapat toga, dan orang tuanya tak sudi jika anak yang mereka kuliahkan harus di kukuhkan secara daring.
" Secara pribadi si bang, jujur bang aku tak sudi juga ikut daring. Sebuah penghargaan akademis harus lewat daring. Aku juga mau salaman loh sama Rektor. Poto-poto sama ibu bapak di tempat-tempat tenar di kampus, mengenalkan mereka pada kampusku, kebanggaanku," Â ujarnya
Teman lainya yang memilih mengikuti wisuda secara daring menuturkan bahwa memang pada kondisi ini, lebih baik memilih daring. Sebab, selain ijazah sudah di pegang, ia juga tak punya biaya jika harus datang wisuda bersama keluarga mengikuti wisuda tatap muka yang tak jelas kapan akan dilakukan.
Pergolakan antara wisuda secara daring dan tatap muka menjadi sebuah keputusan yang mau tidak mau di ambil oleh pihak Universitas dan Mahasiswa. Â Kebijakan-kebijakan pun berbeda pada setiap kampus. Â Di kampus yang sekarang menjadi tempat saya menimba illmu, wisuda daring tetap dilaksanakan walaupun mahasiswa sudah memperoleh Ijasah nya.Â
Sementara di kampus lain, seperti yang di ungkapkan oleh kawan siang tadi, Ia terpaksa mengikuti wisuda daring karena keterpaksaan. Â Sebab, Jika tidak demikian maka ijasah nya akan lama dipegang bila mengikuti wisuda secara tatap muka.
Tentu, antara wisuda daring dan tatap muka memiliki kesimpulan yang sama yakni sama-sama di kukuhkan atau dilantik. Lantas apa si enaknya wisuda secara tatap muka? kenapa banyak mahasiswa mengeluh tak mau ikut wisuda daring?
Wisuda  adalah peneguhan atau pelantikan kepada mahasiswa yang telah menyelesaikan seluruh tahapan pendidikan. Di setiap universitas rata-rata memiliki kesamaan dalam proses wisuda. Akan tetapi hal yang paling di tunggu mahasiswa ialah momen-momen saat wisuda apalagi secara tatap muka.  Momen apa saja kah itu sehingga banyak wisudawan tak mau memilih wisuda daring?
Pertama, Momen bersama keluarga
Sebuah peristiwa penting dalam hidup, harus dinikmati bersama keluarga. Inilah yang menjadikan momen kelulusan secara tatap muka menjadi momen sekali sehidup yang tak boleh dilewatkan. Sebuah kebanggaan ketika melihat anaknya di wisuda yang bermakna sebuah  pencapaian sebagai orang tua.Â
Selain itu, momen ini juga  sering dimanfaatkan anaknya untuk mengenalkan seluk beluk universitas tempat ia meraih gelar. Bagi si mahasiswa sendiri,  ada sebuah harapan, kekuatan,dan percaya diri jika di dampingi oleh kedua orang tuanya saat wisuda.
Artinya, orang tua siapa yang tidak bahagia melihat anaknya memakai toga kebesaran universitas. Berjalan menghampiri Rektor dan berjabat tangan kemudian mengabadikan momen-momen tersebut pada lensa-lensa kamera. Dalam berbagai rekam, baik yang penulis alami sendiri bahkan yang tersebar di medsos, momen ini merupakan momen haru. Tak jarang baik mahasiswa dan orang tua meneteskan air mata tanda kebahagiaan.
Bahkan, saya sendiri jika wisuda nanti disuru memilih wisuda secara tatap muka. Alasan mereka sederhana, ingin melihat anaknya pakai toga kedua setelah toga pertama 2012 silam, melihat kampus kebesaran dan berfoto disini. Â Mereka bahkan jauh-jauh tempo sudah berpesan dan menghitung keluarga dari kampung yang akan ikut prosesi acara wisuda nanti. Wew, satu rombongan ini kalo dipikir-pikir, wkwkw. Nilai prestis sebenarnya adalah kebagian dan kebersamaan.Â
Kedua, Bisa salaman sama rektor
Kapan lagi bisa salaman sama rektor? orang nomor satu di universitas yang super duper sibuk. Bahkan, kalau mau ketemu harus melalui mekanisme  baik administrsi maupun antrean yang panjang.
Salah satu momen yang tepat ialah momen wisuda. Tapi, wisuda tatap muka ya bukan daring. Kalau daring namanya tatap layar. Wkwkw.
Momen ini sangat di tunggu para wisudawan. Saat prosesi dimana rektor dan senat memasuki ruangan saja kita sudah di buat takjub. Apalagi, baju kebesaran yang dikenakan yang lain dari pada yang lain. Pemandangan ini di balut dengan lagu Mars Tri Dharna Perguruan Tinggi oleh paduan suara yang bikin merinding.
Saat nama di panggil dan mahasiswa maju kedepan. saat itulah sebuah keabsahan sebagai alumni sudah menanti. Sekaan-akan rektor sedang menanti anda wkwkw. Kawan-kawan saya sering berceloteh, "gua di wisuda oleh rektor A, yang sekarang menteri bla bla. Kurang apa gua.".sebuah ungkapan yang tak linear sama sekali..
Ketiga,Pakai toga dan berfoto
Ada alasan-alasan kenapa mahasiswa lebih memilih wisuda tatap muka. Salah satunya ialah memakai toga kebesaran universitas dan berfoto baik bersama keluarga maupun sahabat-sahabat yang datang khusus mengucapkan selamat.
Saya sendiri sangat bangga mengenakan toga dulu, saking semangatnya toga yang saya pakai terbalik. alhasil semua hasil foto memakai toga yang jadi pasangan setia di dinding rumah mejadi asing. Kadang jadi bahan bulian ketika saat tiba momen wisuda. foto saya akan tersebar di medsos dengan caption,cara memakai toga yang baik dan benar. Sial...
Selain toga momen yang tidak ketinggalan ialah berfoto. Mengabadikan hari kebahagiaan tersebut sebelum terpisah dengan teman-teman lain. Foto itu akan menajdi memori indah pada kehidupan kampus yang pernah di jalananinya
Keempat, momen perkenalan mertua
Yap, momen ini merupakan kesempatan pembuktian akan kokohnya sebuah jalinan cinta. Si Pria akan dintuntut mengenalkan si wanita ke orang tuanya. Begitu juga sebaliknya. Setelah perkenalan akan ada basa-basi, dan foto-foto. Bahkan tak jarang para orang tua melempar jokes, kalau sudah anaknya udah siap kami insha Allah, siap. Ah lebay...
Penagalaman beberapa tahun ini selama menghadiri wisuda kawan-kawan yang kebetulan sepasang kekasih sering mengglitik. Setelah saling mengenalkan sering ada kata sumbang "cie" dari kami untuk menambah dramatisnya momen tersebut.Â
Tak jarang setelah perkenalan akan dibarengi dengan foto bersama, makan bersama, nonton bersama, hingga ke puncak bersama. Bisa dibilang trik ini sangat jitu, beberapa sahabat saya bahkan sudah berlenggang manis ke pelaminan. Recomended lah buat yang benar-benar serius.
Kelima, Penegasan Tingkat Sosial.
Bagi saya sendiri, momen ini sangat penting. Di mana prosesi wisuda secara tatap muka, Â mengukuhkan dan menegaskan starta sosial seseorang dalam bidang keilmuan maupun pada dirinya sendiri. Status sosial dengan sematan gelar dibelakangnya merupakan tanda tanggung jawab. Status itu ketika ada pada momen wisuda.Â
Tanda penegasan-penegasan yang sering saya amati ialah saat wisudawan memosting foto ke media sosial. Foto-foto itu menegaskan sesuatu bahwa ia sudah memiliki gelar. Setelah wisuda, tak jarang saya menemukan orang-orang  yang tak mau menerima undangan ketika tak ada gelar di belakang namanya.Â
Selain status sosial pada diri, status sosial pada lingkungan juga ikut berubah. Terutama, orang tua. Status sosial ini akan melekat dan dibawa kemana daja oleh keluarga dalam lingkungan serta kondisi apapun yang mengharuskan mereka "membanggakan"status anaknya.Â
Terlepas dari itu semua, baik wisuda daring maupun tidak semua tergantung pada diri masing-masing mahasiswa. Selain itu,wisuda daring juga tak semerta-merta disalahkan. Mengingat kondisi yang dihadapi bangsa saat ini membuat pihak universitas harus berpikir panjang lebar sebagai upaya pencegahan lenyebaran virus Corona. Terima Kasih..
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H